Senin, 16 Mei 2011

Ratu Kidul dalam Transformasi Peradaban Manusia


Pendahuluan
Dalam era globalisasi saat ini, sepertinya bukan hal yang sulit untuk mendapatkan berbagai informasi yang kita butuhkan. Setiap peristiwa diberbagai belahan dunia dalam beberapa detik sedemikian mudah cepat tersebar keberbagai jaringan informasi yang tersedia, baik melewati media cetak, elektronik, maupun jaringan dunia maya seperti internet. Dengan demikian kita bisa lebih mudah untuk menggali berbagai informasi yang kita butuhkan dari lingkup publik, atau tentang hal-hal yang sifatnya  sangat pribadi. Akan tetapi dibalik semua kemudahan yang tersedia, muncul berbagai kesulitan dibelakangnya. Mengingat dalam jaman yang didominasi dengan pola hidup rasional ini, segala sesuatu ditanggapi secara rasional. Dimana penyajian informasi sangat menentukan arah pola pikir yang akan membentuk suatu opini, pandangan, dan sikap hidup, tindakan seseorang. Bila suatu informasi sedemikian cepat mudah tersebar ketengah masyarakat, maka pola pikir masyarakat pun sedemikian cepat pula menerima pengaruhnya. Sehingga batasan nilai kehidupan sering kali mengalami pergeseran dan perubahan sedemikian rupa dalam waktu yang relative singkat. Hal ini pada gilirannya akan membentuk suatu karakter masyarakat dalam dua sisi yang mungkin saling berseberangan. Disatu sisi memungkinkan terbentuknya suatu karakter masyarakat yang kreatif, inovatif, efektif, efisien, dinamis, sigap dan cepat tanggap dalam menjalani kehidupan. Tapi dilaian pihak bagi yang tidak mampu mensikapi tetapi sudah dijejali berbagai informasi yang berseliweran disekitarnya, akan melahirkan suatu karakter yang labil, cepat bosan, hedonis, oportunis, konsumeris, rendah diri yang bersifat akut maupun kronis, dsb.

Begitulah perubahan jaman, setiap terbentuk suatu keadaan selalu akan disertai dua sisi keadaan yang menyertainya yang saling bertolak belakang. Jadi memang tidak perlu mempersalahkan maupun membenarkan secara berlebihan. Semua hanya sementara, yang akan bergerak mengalir membentuk keseimbangannya. Sampai suatu saat akan berganti dengan keadaan baru yang akan membentuk perubahan dan arah  keseimbangan baru lainnya. Dari kenyataan inilah dipergilirkannya kejayaan dan kejatuhan dari suatu Bangsa pada suatu masa yang mengisi sejarah peradaban manusia. Hanya saja sebagai manusia kita perlu berikhtiar guna bisa mengikuti pertumbuhan dan perkembangan yang ada dari setiap perubahan  jaman. Sampai pada masanya bila kita sebagai masyarakat mampu memanfaatkan `sari-sarine piguna` dari suatu perubahan jaman bisa jadi kita akan mampu memimpin peradaban. Tidak terus menerus sebagai follower tetapi bisa menjadi leader.

Sejalan dengan upaya memanfaatkan `sari-sarine piguna` dari perubahan jaman itu, disini semakin menarik bila kita menelusur lebih jauh pola berfikir masyarakat kita saat ini yang sedang berada diambang krisis jati diri dalam mensikapi berbagai perubahan jaman. Dengan maraknya tuntutan masyarakat akan transparansi, akuntabilitas publik, dan berbagai upaya menuntut hak untuk mengemukakan pendapat, berserikat dan berkumpul serta menyebarkan informasi dalam berbagai bentuknya, masyarakat kita disuguhi berbagai informasi dan pagelaran yang lebih terbuka, lebih lengkap, dan lebih jelas atau  bahkan lebih vulgar sampai sedetail-detailnya tentang suatu kejadian melalui berbagai media. Yang bila diukur dengan masa yang berbeda pada masa lalu ( orde baru, atau orde lama, atau apalagi pada jaman kerajaan ) menurut ukuran saat itu bisa jadi dikatakan saru`, keblabasan, tidak etis, jongkeng kawibawan, provokasi, meresahkan masyarakat dan berbagai penilaian negatif lainnya. Hal itu tentu saja tidak terlepas dari sistem nilai yang dianut oleh masyarakat pada suatu masa. Yang mana sering kali sistem nilai itu dicerminkan melalui persepsi rezim penguasa yang punya wewenang mengatur segala pranata sosial yang ada di masyarakat. Bila diamati dari waktu ke waktu, realita ini menunjukkan adanya perubahan dan pergeseran nilai dalam masyarakat yang tentu saja juga melahirkan dualitas implikasi yang saling berpasangan. berupa efek negatif maupun positif. Dari perubahan yang terjadi saat ini, masyarakat  kita sepertinya sedang dalam transisi pencarian bentuk baru dari suatu tata nilai sosial. Dalam masa transisi sering kali krisis jati diri akan muncul, sebagai bagian  tahap dari suatu proses metamorfosa masyarakat yang hendak membentuk keseimbangan baru yang lebih mapan. Dengan kata lain bisa disebutkan bahwa setiap krisis yang muncul dalam suatu perubahan adalah suatu hal yang wajar. Hanya saja yang menjadi masalah disini adalah bagaimana kita bisa melewati krisis itu dengan tepat sehingga bisa melahirkan suatu bentuk kehidupan yang lebih baik. Pada masa krisis inilah sesungguhnya masa yang sangat menentukan arah yang hendak terbentuk. Ibarat janin dalam kandungan, masa krisis adalah pada saat proses pembentukan organ-organ tubuh (organogenesis) yang disusun dari berbagai keadaan yang didapat selama dalam kandungan. Bila berbagai kondisi dan keadaan secara fisik maupun non fisik yang semestinya terpenuhi secara tepat selama didalam kandungan tersedia dan berfungsi baik, besar kemungkinan diharapkan lahirnya seorang bayi yang sehat dan sempurna. Tapi bila sebaliknya bisa jadi akan menghasilkan jabang bayi yang salah kedaden, atau terlahir dalam kondisi cacat selama masa kehidupannya. Dengan demikian sangat besar peran dari seorang ibu mengawal dan berkontribusi dalam  proses terlahirnya sebuah kehidupan. Hal ini bisa diproyeksikan kedalam kehidupan masyarakat yang lebih luas

Berkaitan dengan hal tersebut, dalam seminar  yang berkait dengan Ratu Kidul ini, dengan segenap kemampuan dan keterbatasan yang ada, saya pikir akan lebih menarik kiranya bila  kita menyajikan suatu peran dan relevansi Ratu Kidul tidak sebagai tokoh atau figure personalitasnya, tetapi lebih sebagai nilai hidup dari suatu tata kehidupan dalam dinamika transformasi perubahan peradaban manusia dan alamnya. Dengan harapan aktualita dan relevansinya bisa ditangkap secara lebih luas dan universal yang tidak hanya terbatas hanya di lingkungan masyarakat jawa pada masa lalu atau hanya bagi yang memiliki daya linuwih yang terkait dengan masalah mistis maupun spiritual saja. Akan tetapi mengingat eksistensi Ratu Kidul sebagai tokoh masih merupakan hal yang kabur bagi banyak pihak, bahkan masih melahirkan berbagai multiinterprestasi dimensional yang kompleks dan kontroversial , tentu bukan hal yang mudah untuk menjadikannya sebagai suatu tata nilai yang konkrit bagi kehidupan dalam peradaban manusia. Untuk itu tentu saja perlu adanya jembatan ilustrasi realita konkrit dari kehidupan manusia guna memaknai sebuah nilai yang masih abstrak tersebut. Sebagai jembatan ilustrasi disini saya mencoba menggali dari realita sejarah peradaban yang pernah bersentuhan maupun berinteraksi secara langsung dengan sosok Ratu Kidul tersebut. Dengan kata lain bisa diungkapkan dengan logika sebagai berikut, untuk bisa melahirkan seorang anak tentu karena ada bapaknya. Jadi kalau tidak bisa melihat dari ibunya bisa dilihat dari bapak atau anaknya. Hanya saja yang dimaksud bapak dan anak disini yang terkait dengan Ratu kidul sebagai nilai peradaban tentu bukan sebagai  sosok individu, tetapi lebih sebagai symbol eksitensi suatu nilai atau bentuk peradabannya. Maka kalau Ratu Kidul dipandang sebagai Ibu peradaban, tentu ada Bapak Peradaban sebagai jodohnya dan anak peradaban sebagai hasilnya. Demikian kira-kira logika dasarnya dalam memandang interaksi antar tokoh yang saya maksud dalam sajian ini nantinya. Sehingga apabila nanti terdapat kesan yang kurang tepat dalam mengungkapkan ilustrasinya, sebelumnya saya mohon maaf, tidak maksud saya untuk merendahkan maupun melebihkan sang tokoh tersebut ataupun pihak yang terkait secara sengaja dan berlebihan, tetapi semua semata-mata karena keterbatasan dan kekurangan saya dalam menggali dan mengungkapkannya.

Karena hal ini berkaitan dengan dunia alam halus, maka saya sendiri pun tentu paling tidak harus memahami dan mengalami bagaimana rasanya berinteraksi dengan alam halus tersebut. Untuk itu disini perlu sedikit saya paparkan latar belakang perjalanan interaksi saya dengan alam halus sebagai bagian dasar dan sedikit banyak ikut menginspirasi tulisan saya ini. Sejak tahun 1995 dalam sebagian perjalanan kehidupan, saya mengalami fenomena yang berkaitan dengan alam halus tersebut. Hal itu sebenarnya bukan sesuatu yang sengaja saya cari. Tetapi ternyata sebagai bagian dari tujuan utama saya dalam beribadah mendekatkan diri kepada Allah Swt. dan mencari Jati Diri ketika itu, perjalanan implisit saya ini sampai pada sebuah titik yang menempatkan saya untuk mengenal berbagai alam yang ada. Termasuk tingkatan-tingkatan dimensional dari alam halus. Dan sejak tahun 1998 fenomena interaksi dengan alam halus ini semakin intensif saya alami, bahkan beberapa tokoh dari alam halus yang saya `belum kenal sebelumnya` juga berkenan hadir untuk memperluas wawasan saya tentang kehidupan. Mungkin pada awalnya bentuk-bentuk interaksi itu masih sedemikian kabur maksud dan tujuannya karena keterbatasan saya. Tapi dari waktu ke waktu semakin jelas sampai tersusun sebuah kesadaran besar dalam diri saya tentang adanya Bebrayan agung (pergaulan hidup) antar alam diberbagai tingkatan dimensi. Dan keadaan itu tidak hanya terjadi sebagai cerita masa lalu, tetapi hal itu akan selalu ada di setiap jaman dalam bentuk yang berbeda-beda. Dalam tataran praktis sering saya melihat fenomena-fenomena dunia halus di berbagai media maupun ditengah-tengah masyarakat. (seperti penampakan, pelet, kebal, pengobatan alternatif, penglaris, dsb). Tetapi fenomena-fenomena itu kurang menjadi perhatian saya. Karena pada saat tahun 1998 itu Negara kita sedang mengalami krisis multidimensional, maka perhatian saya lebih banyak tercurah pada bagaimana memahami mekanisme bebrayan agung antar dimensi itu terjadi ditataran peradaban manusia pada level tata Negara pada masa lalu, saat ini dan nantinya. Sejak saat itu dan terutama tahun 2000-an kesini saya semakin sering bertanya dan menerima wawasan dari Beliau-beliau para tokoh Alam halus yang berkait dengan tata Negara.Untuk kesempatan kali ini akan saya sajikan sebagian hasil dari interaksi tersebut sebagai suatu wacana berkait dengan tema Ratu kidul sebagai Ibu peradaban. Semoga bisa memberi manfaat. Mohon maaf sebelumnya kalau dalam tulisan ini saya lebih banyak mengambil informasi bersumber dari hasil penggalian implisit dalam perjalanan pribadi saya. Jadi bila ada kiranya kekurangan,  kelemahan, atau kesalahan, menurut ukuran lain yang ada, itu semata-mata karena keterbatasan saya yang masih dalam proses belajar, belajar dan belajar….. Sinau… forever.

Maha Suci Allah yang menciptakan sesuatu dengan tidak sia-sia. Setiap fenomena yang tergelar dimuka bumi ini pasti ada maksud dan hikmah dibelakangnya. Sejauh mana kita bisa mendapatkan Hikmah dan manfaat dari suatu fenomena tergantung dari sedalam dan seluas apa kita menggalinya. Semakin dalam dan luas maka semakin banyak hikmah dan manfaat yang mampu kita dapatkan. Semua tergantung masing-masing pribadi dalam pengetahuan, kemampuan, dan mensikapinya. Demikian pula dengan fenomena Ratu kidul ini. Adanya perbedaan pandangan, pendapat, dan sikap berbagai kalangan tentang keberadaannya, tentu tidak terlepas dari sejauh mana realita yang mampu ditangkapnya dari fenomena ini. Mengingat kebanyakan dari kita tidak mampu menangkap atau mengalami fenomena dari alam halus, tentu tidak akan mudah menjelaskan suatu proses yang terjadi dari dimensi alam halus itu sendiri. Apalagi bila proses itu berkait dengan terciptanya peradaban dari sebuah interaktif alam halus dengan alam manusia. Tetapi dibalik semua itu tentu ada Hikmah dan manfaat yang di kehendaki oleh Allah SWT dengan digelarnya realita itu bagi manusia. Untuk itu sebagai upaya berbagi wacana tadabur alam, saya mencoba membangun sebuah jembatan pemahaman yang semoga mampu memberikan ilustrasi dari sudut yang mudah dipahami dari alam manusia. Yang dari sana diharapkan kita mampu mengambil hikmah dan manfaat  dari fenomena interaksi dua alam yang berbeda ini untuk kehidupan kita saat ini dan nantinya.

Kerajaan Laut Selatan
Konon sebagai Penguasa Laut Selatan, secara umum masyarakat diberbagai daerah, masyarakat  jawa pada khususnya, memahami atau mempercayai bahwa Penguasa itu adalah  sesosok Mahluk halus perempuan sebagai Ratu yang memiliki kerajaan di alam halus atau alam gaib di Laut Selatan. Yang kekuasaannya meliputi seluruh bangsa lelembut yang ada di wilayah tersebut.

Laut selatan adalah salah satu realitas alam. Sebagaimana fenomena alam yang lainnya, didalamnya mengandung banyak sumber daya alam dan kehidupan. Sehingga berbagai bentuk kehidupan  baik yang bersifat biotik maupun abiotik yang ada di dasar, tengah maupun permukaannya yang secara nyata ada, menyusun struktur sedemikian rupa secara fisik membentuk suatu ekosistem dari sebuah samudera yang kita kenal dengan samudera Indonesia. Setiap unsur-unsur yang menyusun alam di Laut selatan ini, masing-masing terkait, berinteraksi dan berproses dalam sebuah alur sedemikian rupa mengikuti suatu hukum yang biasa kita sebut dengan hukum alam. Floura maupun faunanya pun masing-masing berproses mengikuti siklus kehidupan seperti banyak fenomena alam yang lainnya. Lahir, tumbuh berkembang biak dan mati.  Jadi segala fenomena alam di Laut selatan secara fisik kita saksikan berjalan secara wajar sebagaimana fenomena-fenomena alam di tempat-tempat lainnya. Tidak ada yang aneh dan luar biasa. Mungkin karena semuanya berjalan secara wajar, banyak dari kita yang tidak tertarik untuk memperhatikannya.Tapi suatu saat ketika muncul iring-iringan prosesi labuhan yang diselengarakan pihak Kraton Yogya atau Solo di pantai Laut Selatan itu, barulah mungkin kesadaran kita sedikit tersentak akan fenomena yang terjadi dilaut selatan itu. Ada apa ini, mengapa orang-orang berduyun-duyun dengan suasana yang sedemikian khidmat dan sakral mengadakan upacara sesaji di Laut Selatan ? Dan mengapa ada orang mau repot-repot menyelenggarakan suatu upacara yang melibatkan banyak pihak yang tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Apalagi upacara seperti jaman purbakala itu mengapa masih saja ada dijaman komputer ini, dan mengapa diselenggarakan oleh pihak kraton yang eksistensinya secara sosial begitu terhormat ditengah-tangah masyarakat ? Tapi fenomena itu pun mungkin belum seberapa memanggil kita untuk menelaah lebih jauh tentang realita yang ada di Pantai Selatan ini. Bahkan mungkin dari sebagian kita malah ada yang melihat dengan sebelah mata membentuk persepsi negatif dengan berbagai dasar pertimbangan logika dan keyakinannya masing-masing. Tapi seandainya saja ada Lempengan bumi di dasar Laut Selatan bergeser sedemikan besar yang menimbulkan gempa yang dahsyat dan Tsunami, tentu secara global peta geologi dan kelautan ikut mengalami perubahan. Belum lagi akibat yang terjadi hasil dari gelombang laut yang menghantam ke daratan yang dihuni manusia disepanjang pantai laut selatan. Dan seandainya goncangan yang dihasilkan oleh gempa itu sedemikian dahsyat sampai mampu merubah sudut poros bumi, hal ini akan mempengaruhi perjalan waktu peredaran bumi mengelilingi matahari, yang menyebabkan siang hari bisa menjadi lebih pendek atau lebih panjang di beberapa belahan bumi tidak seperti biasanya. Tentu saja seluruh irama kehidupan manusia yang sudah terbiasa dengan berbagai ukuran ruang dan waktu juga akan ikut terpengaruh dan berubah. Mungkin barulah kita tercengang dan terhenyak seolah baru disadarkan akan adanya suatu kekuatan alam yang sedang bekerja di Laut selatan itu.

Dari kejadian yang baru lalu di Aceh seperti kita ketahui bersama, Gelombang pasang Tsunami dari Laut Selatan yang sedemikian dahsyat telah meluluhlantakan daratan bumi serambi mekah itu. Sebuah peradaban manusia yang dibangun puluhan mungkin ratusan tahun, dengan berbagai jerih payah, perjuangan yang mengorbankan banyak darah dan air mata bisa hancur lebur dalam beberapa detik saja. Dari kenyataan ini diakui maupun tidak diakui bahwa di laut Selatan ada sebuah kekuatan besar yang memungkinkan terjadinya perubahan nasib dan peradaban manusia. Masing-masing kita mungkin punya teori , persepsi atau keyakinan yang berbeda-beda tentang siapa Penguasa pemegang kekuatan besar tersebut. Tapi apapun teori, persepsi dan pendapat kita, hampir bisa dipastikan kita akan selalu sepakat, bahwa bila alam yang sudah bicara dan menunjukkan daya kuasanya tidak ada satupun yang akan bisa membantahnya. Dari teknologi yang sudah berkembang saat ini, paling tidak kita sudah bisa mendapat penjelasan ilmiah bagaimana mekanisme kekuatan alam itu bekerja. Jadi dari sini bisa kita sebut bahwa fenomena itu adalah sebagai karya kekuatan alam. Tapi sejauh mana mekanisme alam itu bekerja, ilmu dan teknologi kita saat ini masih sangat terbatas untuk mampu mengungkapkannya. Sehingga BMG dan para ahli tektonik, pun tidak berani memastikan kapan adanya, dimana, dan bagaimana proses bencana yang akan terjadi berikutnya. Dan ketika akal budi manusia mengalami keterbatasan, maka untuk bisa memahami fenomena tersebut lebih jauh, kebanyakan dari kita mulai bersandar pada keyakinannya. Dan pada tataran inilah kita mulai menginjak pada kehidupan spiritual, dimana Tuhan sebagai pencipta alam mulai disebut-sebut. Tetapi untuk mendapat penjelasan dari fenomena alam ditataran kehidupan spiritualitas ini pun, juga banyak keterbatasan dalam kemampuan berkomunikasi dengan sumber informasi yang diharapkan yaitu dari Tuhan. Sehingga ditengah ketidaktahuan itulah selanjutnya manusia sampai pada titik penyerahan diri dengan percaya  atau tidak percaya terhadap segala kebijakan yang ditentukan-Nya.

Dari garis besar pensikapan manusia terhadap fenomena alam itu, paling tidak kita bisa menarik benang merahnya menjadi dua bagian. Ada yang mensikapinya sampai pada tataran rasional ilmiah menggunakan data empiris fenomena alam secara wadag, dengan segala metoda pendekatannya dalam kelimuan alam yang bersifat fisik. Ada yang melanjutkan sampai pada tataran keyakinan spiritual menggunakan berbagai prosesi dan simbolisasi ritual berkait dengan fenomena alam dan segala pendekatan dalam keilmuannya yang bersifat  non fisik atau metafisik. Untuk golongan yang pertama melahirkan berbagai disiplin ilmu alam lahiriah dan manusia yang menjalaninya menjadikan disiplin ilmu itu sebagai skill dan profesinya. Sedang untuk golongan yang kedua melahirkan berbagai ilmu alam batiniah, dan manusia yang menjalaninya menjadikan disiplin ilmu itu sebagai darma kehidupan bagi wujud kebaktiannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga  golongan yang pertama itu bisa dikatakan sebagai golongan Profesional. Sedang golongan yang kedua bisa dikatakan sebagai golongan Spiritual

Jadi dalam konteks ini bila ditanya apakah  di Laut Selatan ada kraton dan penguasanya ? Untuk ini ada analoginya dalam peradaban manusia. Sebagaimana kehidupan di daratan ada sebuah Kerajaan dengan adanya rakyat, wilayah yang ada didalamnya, semua bisa teratur tumbuh dan berkembang membentuk suatu peradaban berupa suatu kerajaan yang besar, jelas karena ada yang mengatur, memimpin, menguasai dengan suatu sistem pranata kehidupan. Mestinya demikian pula di Laut Selatan. Yang menjadi pertanyaan  adalah bagaimana mendudukkan pemahaman tentang eksistensi sang penguasa Laut selatan ini, yang secara fisik tidak bisa disaksikan keberadaannya oleh kebanyakan orang dalam kesadaran kita yang awam akan realita makhluk halus ? Nah disini kita kembali kepada pemaparan awal, ekosistem yang ada di Laut selatan dengan segenap unsur-unsur penyusunnya baik yang bersifat biotik dan abiotik, yang ada di permukaan, tengah maupun dasar samudera, semua bisa berjalan dari waktu ke waktu secara teratur dalam suatu siklus yang harmoni, sehingga segala sesuatu kita lihat sebagai kewajaran yang tidak aneh dan luar biasa. Tentu dibalik keteraturan ini tidak akan terjadi bila tidak ada sistem yang mengaturnya. Dan sistem yang mengatur ini kalau di analogikan dengan realita manusia dalam hal ini adalah peradaban Mataram, sistem ini berupa sebuah pranata sosial  yang diambil  dalam bentuk Kraton atau Kerajaan. Jadi kalau Laut Selatan dengan segenap keteraturan ekosistemnya, tentu juga terjadi karena adanya pranatan yang mengaturnya. Karena yang ditata adalah unsur-unsur yang menyusun ekosistem dari alam, maka pranata yang dipakai pun juga dengan pranatan alam. Dan kawulo, sentana, nayaka dan perangkat birokrasinya lainnya pun bisa diilustrasikan dari unsur-unsur alam yang menyusun disana. Baik yang bersifat biotic maupun abiotik. Sehingga  kalaulah sistem pemerintahan yang berlaku dipahami dalam sebuah bentuk Kerajaan, tentunya kraton itu pun juga berupa Kraton alam. Dan karena disetiap Kraton ada Raja yang mengatur, maka di Kraton Laut Selatan pun juga ada Raja yang mengatur alamnya. Sampai disini kita biasanya bila ditanya siapa Raja pengatur alam itu, kebanyakan kita akan berhenti pada jawaban bahwa alam diatur oleh Tuhan. Sedang kalau kita mengacu pada realita kraton manusia, kita dengan mudah mengatakan bahwa raja mataram adalah Danang Sutowijoyo. Kenapa serta merta kita tidak menyebut bahwa Raja Mataram adalah Tuhan ? Yah memang karena untuk realita yang bagi kita sudah jelas maksud dan konteksnya, biasanya kita berani mengidentifikasinya secara jelas menunjuk adanya sesosok makhluk yang mewakili eksistensi Tuhan dalam salah satu perannya dialam ini. Tetapi bila belum jelas segala sesuatunya memang kebiasaan kita adalah kita kembalikan semua kepada Tuhan. Sampai disini kita sampai pada pemahaman bahwa didalam menyelenggarakan kehidupan dijagad raya ini, paling tidak dalam kehidupan manusia kita mengenal adanya wakil Tuhan yang mengatur pranata sosial Kraton manusia yaitu seorang raja. Sehingga didalam pranatan alam pun tidak tertutup kemungkinan bahwa Allah SWT mengatur alam juga melewati wakil-wakilnya. Entah wakil itu dari sosok makhluk atau bangsa apa. Bisa saja dari bangsa jin, atau manusia, atau mahluk lain yang mungkin belum pernah ada identifikasinya yang jelas menurut manusia (UFO). Tapi yang jelas Allah SWT Yang Maha Kuasa sebagai Maha Raja Diraja di Jagad Raya ini, telah mempergelarkan suatu sistem semesta lengkap dengan segala perangkat dan aturan hukum didalamnya. Dan manusia di dalam perjalanan hidupnya berproses tumbuh dan berkembang dalam belajar untuk mengenal-Nya melalui segala perangkat, jalan, alam, dan makhluk yang ditunjukkan dan diijinkan-Nya.

Realitanya bukan hanya di Laut Selatan saja tata kehidupan alam itu ada dan tersusun dalam suatu sistem yang dalam khasanah jawa peradaban disebut dengan Kraton. Seluruh Laut di belahan dunia ini, gunung, daratan, tata surya, bahkan seluruh galaksi dijagad raya ini semua tersusun dalam suatu sistem yang teratur. Jadi bisa dikatakan Kraton itu pun ada disetiap bentuk gelaran alam dimana-mana. Bukan hanya yang tergelar sebagai makrokosmos, tapi juga semua kehidupan yang tergelar secara mikrokosmos. Termasuk sel dalam tubuh kita, bakteri, virus, dsb. Dimana semua tersusun sebagai kerajaan besar dari Tuhan Yang Maha Esa sebagai Maha Raja Dirajanya. Namun demikian tidak bisa dipungkiri bahwa disetiap sistem tersusun dalam sub-sub sistem. Seperti tubuh kita tersusun dari system organ ( pencernaan, pernafasan, genitalia, cardiovascular, saraf hormonal dsb), organ (lambung, paru-paru, testis, Jantung, otak, kelenjar anak ginjal dsb.) jaringan sel (jaringan kulit, jaringan otot, jaringan, syaraf dsb.), dan sel itu sendiri. Dan di dalam sel pun masih tersusun menjadi beberapa bagian yang semakin kecil berupa inti sel yang terdapat didalamnya mitokondria dan DNA sebagai kode genetika kehidupan kita. Nah disinilah masalahnya. Pencerapan dan pengenalan kita secara detail akan sebuah fenomena sangat menentukan persepsi kita dalam membangun sebuah pengertian akan tata kehidupan dalam setiap fenomena itu sendiri. Bila kita hanya mengenal secara global, maka persepsi yang kita bentukpun akan global. Tetapi bila pengenalan kita terhadap sebuah fenomena sampai ke aspek yang lebih mendalam dan detail, maka persepsi kita pun akan semakin lengkap dalam memilahkan segala sesuatunya menurut data dan fakta yang ada, tergantung sejauh mana kelengkapan data dan fakta. yang mampu kita serap dari sebuah fenomena. Yang dari berbagai aspek detail tersebut kadang muncul pendefinisian atau indentifikasi khususnya terhadap eksistensi suatu sub-sub sistem itu. Yang kadang sudah bisa diistilahkan dan membentuk suatu karakter sendiri. Yang kalau diistilahkan dalam bahasa Spiritual suatu karakter sub sistem alam itu sebagai sesuatu yang mewakili eksistensi Tuhan. Kembali pada eksistensi Kerajaan Laut Selatan dan Ratu Kidulnya. Kenyataan bahwa disana ada seorang Ratu, tentu saja dikarenakan adanya pemahaman akan kekuasaan alam yang berada di Tangan Tuhan ini sudah mulai dibahas pada aspek detailnya. Sehingga eksistensi Tuhan disini sudah mengambil bentuk menjadi suatu makhluknya yang menjadi wakilnya. Dan istilah dan berbagai definisi ini biasanya muncul dari para ahli dibidang tersebut. Kalau dalam konteks ini adalah istilah kehidupan mahkluk halus, maka istilah dan definisi inipun muncul dari tokoh ahli dibidang kehidupan alam halus yang oleh masyarakat kita pada masa lalu  disebut bukan sebagai Ir, Sarjana, atau Profesor, tapi lebih kepada gelar kemampuan kerohaniannya spt, para Waskita, Jalma linuwih dsb.  

Dari kenyataan fisik kita melihat bahwa Laut selatan eksistensinya terkait dengan seluruh samudera dan semua eksistensi alam, baik yang di darat maupun di lautan di bumi ini maupun di jagad raya. Sehingga kalau realita alam Laut selatan itu diilustrasikan sebagai tata kehidupan yang berbentuk kerajaan, tentu adalah bagian dari seluruh kerajan di jagad raya ini. Dan sebagai kerajaan  sub sistem dari sistem semesta, tentu juga memiliki rakyat, wilayah dan sistem pemerintahannya sendiri. Yang mana tidak tertutup kemungkinan bahwa sistem pemerintahan, rakyat dan wilayahnya memiliki karakteristik yang berbeda dengan kerajaan-kerajaan alam yang lainnya di jagad raya ini. Mungkin hal ini akan lebih mudah dipahami bila kita juga melihat fenomena alam yang lain juga dalam persepsi sebagai kerajaan. Sebagai contoh,  Fenomena alam dan unsur-unsur alam yang menyusun kehidupan di Gunung Merapi,  padang Sahara, Hutan Amazon, atau benua Antartika dengan segala dinamikanya, tentu berbeda dengan di Laut Selatan. Maka kalau masing-masing ekosistem alam itu diliustrasikan sebagai Kerajaan, bisa dipahami bahwa ditiap-tiap tempat tersebut memiliki sistem pemerintahan, kawula, dan wilayahnya sendiri-sendiri yang berbeda-beda karekteristik dan bentuknya.

Kalau begitu bagaimana pemahamannya dengan sosok Ratu, sentana, nayaka, maupun kawulo Kerajaan Laut Selatan ini, bisa dipahami dalam kaitannya dengan realita yang berkait dengan alam halus ? Dari berbagai unsur alam yang secara fisik disana terdapat adanya suatu ekositem yang menyusun menjadi suatu kerajaan fisik laut Selatan, mungkin disinilah semua aspek yang berkait dengan unsur fisik ini bisa kita kategorikan ke dalam satu dimensi yang disebut dimensi fisik. Sedang pada kenyataannya realita alam semesta ini tidak hanya tersusun dari hal-hal yang bersifat fisik saja. Sebagai contoh sederhana kalau kita butuh makan, karena fisik kita lapar. Tetapi ketika kita sedih, kita lebih butuh hiburan dari pada makan, karena jiwa kita yang sedang lapar. Jadi hiburan disini, lebih berkait erat dengan realita kebutuhan kita yang bersifat non fisik. Pada diri kita yang tersusun dari unsur yang bersifat fisik yaitu raga, dan bersifat non fisik yaitu jiwa, masing-masing membutuhkan konsumsi untuk kelangsungan kehidupannya. Dari sini bisa dikatakan ketika menikmati hiburan dan hal-hal lain yang bersifat kejiwaan sebenarnya kita sedang memasuki ranah dimensi lain yang bersifat non fisik dari kehidupan kita. Ini menunjukkan bahwa kehidupan kita disusun dalam berbagai dimensi. Jadi dibalik dimensi fisik kita masih terdapat dimensi non fisik. Demikian pula dengan eksistensi alam semesta yang lainnya termasuk Laut selatan. Hanya saja yang membedakan adalah karena susunan fisik yang berbeda maka ekspresi dari dimensi  non fisik ke dimensi fisik inilah yang berbeda. Kalau kita gembira mungkin akan nampak dari raut muka, atau kadang diungkapkan dengan kata atau tulisan menggunakan fisik kita. Tapi karena susunan fisik alam Laut kidul tidak jelas bagi kita yang mana tangan,muka, kaki dan badannya, maka untuk mengekspresikan hal-hal yang ada di dimensi jiwanya pun dengan cara yang berbeda. Sehingga di kalangan masyarakat jawa sering kita mendengar ungkapan kalau terjadi bencana yang berkait dengan laut selatan itu tanda bahwa Ratu Kidul sedang murka. Bisa saja alatnya untuk menunjukkan kemurkaannya ini dengan menggunakan bumi dengan gempa, laut dengan tsunami, angin dengan badainya, dsb. Dan berikutnya kita mengenalnya sebagai bahasa alam. Jadi bisa dikatan ketika kita sudah membahas masalah realita non fisik artinya kita sudah memasuki ranah kejiwaan dari realita tersebut. Untuk itu kita perlu mengenal dan menempatkan diri sesuai dengan ranah dimensinya, supaya kita bisa memahami dan mengangkap realitanya  secara tepat dan lebih utuh.

Realita Dimensional.
Dari berbagai literature tentang alam dan manusia, mungkin sudah banyak istilah-istilah yang digunakan guna menjelaskan fenomena dimensi  yang ada di alam ini. Untuk itu kali ini mungkin saya akan menggunakan istilah yang sering kita sebut  di dalam masyarakat umum. Secara garis besarnya kita mengenal  dimensi, yaitu dimensi fisik, dan dimensi non fisik. Hal ini sebenarnya sedikit banyak mengacu kepada ralita yang ada pada diri manusia itu sendiri. Dimana kita sebagai manusia terdiri dari raga yang berada di dimensi fisik dan jiwa yang ada di dimensi non fisik. Masing-masing dimensi memiliki karakteristiknya yang khas. Raga bersifat kasar, terbatas ruang dan waktu. Sedang jiwa bersifat halus mampu menembus ruang dan waktu. Dalam dimensi fisik, secara ukuran waktu yang ada hanya saat ini dan berjalan linear menjadi masa lalu, dan menuju masa depan. Dari fisik bayi, anak, remaja, dewasa, dan tua. Dengan kata lain kalau kita orang dewasa, biasanya saat ini fisik kita tidak bisa  menggunakan fisik ketika kita masih dimasa lalu sebagai bayi, atau dimasa depan ketika fisik kita tua.  Dalam menempati ruang segala sesuatunya dalam dimensi fisik ini dibatasi oleh bentuk, ukuran, yang dalam satuan dasar kita kenal 3 dimensi yaitu tinggi, lebar, dan panjang dan berbagai ukuran turunan lainnya. Fisik kita bisa dikatakan berpindah bila fisik kita berjalan dari satu ruang ke ruang lain, dengan melewati batasan-batasan ukuran tersebut.  Dan kasar dalam arti panca indera fisik kita mudah dan jelas untuk mendeskripsikan segala sesuatunya. Sedang jiwa kita dikatakan mampu menembus ruang artinya meski fisik kita di Solo tapi jiwa kita bisa ada di Jakarta dengan sekejab saja, yaitu ketika kita berfikir tentang segala sesuatu yang ada di Jakarta. Sedang untuk menembus waktu, jiwa kita memungkinkan masuk ke masa lalu dengan mengenang kejadian-kejadian di masa lalu, ataupun ke masa depan dengan merencanakan segala sesuatu untuk hal-hal yang akan datang. Dikatakan halus karena secara relative dibandingkan struktur yang ada di fisik, jiwa kita dengan segenap aktualitanya lebih sulit ditangkap oleh Panca Indera fisik kita. Mungkin dari karakteristik dua dimensi ini, kita sudah sedikit bisa pahami realita dua dimensi alam yang berbeda yaitu alam kasar dan alam halus. Jadi sebenarnya setiap saat  kita semua itu pernah mengalami fenomena alam halus, yaitu ketika kita tenggelam di dalam fenomena kejiwaan, entah karena sedang banyak berfikir, merenung, mengenang, berkhayal, bercita-cita, merencanakan dsb. Makanya mbah-mbah kita sering berpesan jangan banyak  ngelamun mundak kesambet barang alusan. Hal ini ada benarnya sebab dalam kondisi jiwa seperti itulah sebenarnya kita sedang membuka akses ke alam halus, tanpa kontrol yang jelas. Berbeda dengan orang yang sedang berfikir, atau tafakur, dimana kontrol jiwa sedemikan kuat, jadi meski masuk dialam halus, tidak memungkinkan sembarangan makhluk halus bisa menguasai kesadaran kita.

Tetapi yang perlu dipahami juga, selain dua dimensi tersebut diatas masih ada satu dimensi lagi, yang sering kita sebut sebagai dimensi Ketuhanan. Yang mana karakteristiknya adalah seperti halnya karakteristik Tuhan itu sendiri, yaitu Maha besar dan Maha segalanya yang tidak terbatas oleh ruang waktu, dan apapun juga. Yang meliputi seluruh dimensi alam dan isinya, baik alam halus maupun alam kasar. Sehingga ungkapan untuk dimensi ini bisa dikatakan tan keno kinoyo apa (tidak bisa dimisalkan dengan apapun juga) Segalanya ada disana. Masa lalu, masa kini, dan masa akan datang menyatu manunggal dalam realita tunggal, didalam adalah luar, luar adalah dalam, Kosong tetapi isi, isi tetapi kosong , awang awang uwung uwung, dan berbagai ungkapan yang lainnya, -yang kadang membingungkan bila kita masih di kesadaran dimensi fisik-. Yang secara awam sering diistilahkan dengan dimensi rohaniah. Hal ini terkait dengan keyakinan bahwa roh manusia adalah bagian dari realita Ketuhanan. Manungso iku pletike Gusti Allah. Manusia itu citra Allah. Jadi dalam diri manusia selain Fisik dan Jiwa yang bersifat kemakhlukan masih ada Roh yang bersifat Ketuhanan. Dimana Roh manusia adanya di dimensi Ketuhanan.

Kalau di alam kasar kita menggunakan tubuh kasar dan panca indera kasar, maka di alam halus pun kita juga punya tubuh halus dan panca indera halus. Hanya saja mungkin bagi orang awam, realita tubuh halus ini tidak banyak dikenal. Secara anatomi dan fisiologi ilmu-ilmu kedokteran barat lebih banyak menjelaskan tentang tubuh fisik ini. Tetapi literature Barat yang memuat tentang struktur dan fungsi tubuh halus manusia masih sangat jarang. Tetapi sejak jaman dahulu kala para cerdik cendikia di Timur sudah banyak menggali realita tubuh halus manusia ini. Dalam kesempatan ini saya membatasi konteks pembahasannya dalam rangka memperjelas peta tentang realita dimensional ini secara umum, sebagai upaya pemahaman tentang kemungkinan adanya interaksi antara dimensi kasar dan dimensi halus. Yang mana alam semesta ini tersusun secara bertingkat dari dimensi yang paling kasar, bertingkat-tingkat menuju semakin halus sampai sedemikian halusnya hingga tak terbatas. Dimana masing masing tingkatan dimensi memiliki karakteristik yang berbeda-beda dalam berlakunya hukum alam yang biasa kita kenal dengan adanya batasan ruang dan waktu. Yang kalau disarikan secara mendasar ada tiga dimensi yaitu dimensi Fisik, dimensi Jiwa, dan dimensi Ketuhanan.

Seperti halnya di dimensi fisik, untuk seorang mampu menangkap berbagi fenomena disekitarnya dan berinteraksi di alam fisik, membutuhkan pancaindera fisik dan tubuh fisik yang sempurna. Begitu pula di dimensi alam halus kita membutuhkan tubuh halus dan panca indera halus untuk mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan realita dari alam halus. Bila salah satu indera itu, belum berkembang sempurna, terganggu atau cacat, maka kemampuan berinteraksinya pun juga agak terganggu atau tidak bisa sama sekali. Dari jabang bayi sampai tumbuh dewasa dan akhirnya tua, panca indera dan tubuh fisik manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan dari lemah menjadi kuat dan sempurna sampai akhirnya melemah lagi ketika sudah tua. Tubuh halus dan panca indera halus pun untuk mampu menangkap dengan jelas dan berinteraksi dengan lingkungan dimensi alam halus juga membutuhkan prasarat yang memadai. Tetapi bedanya karena tubuh halus mampu menembus ruang dan  waktu seringkali perkembangannya belum tentu liner dengan adanya usia fisik seseorang. Kalau pada tubuh fisik makin tua makin lemah, untuk tubuh halus dan panca inderanya belum tentu begitu. Makin tua malah bisa jadi makin matang dan kuat daya tangkap dan kemampuan berinteraksinya. Atau sebaliknya, ada dalam beberapa kasus anak-anak sudah mampu berkomunikasi dengan alam halus sedang orang dewasa banyak yang belum mampu. Tentu banyak factor penyebab banyaknya perbedaan fenomena ini. Tapi secara umum kekuatan, kemampuan dsb itu, selain ditentukan oleh banyak dan intensifnya pelatihan `kemampuan khusus ini`, juga ditentukan oleh evolusi tingkat kehidupannya. Setiap manusia mengalami evolusi yang berbeda-beda tingkat perkembangannya. Untuk manusia yang evolusinya sudah lebih maju, perkembangan tubuh halus dan pancaindera halusnya pun juga sudah makin matang. Sehingga kemampuan untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan alam halus bukan suatu yang sulit. Walau pun tanpa banyak pelatihan khusus untuk mengasahnya. Sedang bagi tingkat yang evolusinya belum begitu berkembang mungkin kemampuannya tetap belum begitu jelas, meskipun sudah banyak melakukan berbagai pelatihan keilmuan halus. Tingkat evolusi ini sering kali dipahami sebagai bakat bawaan dari lahir. Dalam beberapa konsep kehidupan tertentu, tingkat evolusi ini dipahami oleh banyak sedikitnya seorang manusia mengalami reinkarnasi.

Pola interaksi dimensional
Mungkin sudah banyak beredar wacana dimasyarakat kita, ada manusia yang melakukan interaksi atau  membuat kontrak kerja sama dengan  alam halus. Dengan berbagai tujuan masing-masing baik posistif maupun negative. Tapi karena polanya yang sangat terbatas dilingkup kehidupan pribadi, keluarga dan sifatnya praktis untuk tujuan sesaat, maka fenomena itupun pengaruhnya hanya sebatas pada lingkungan sekitar sang pelaku saja, timbul tenggelam sejalan berlalunya waktu tanpa mendapat banyak perhatian dan tidak membawa pengaruh dan perubahan  mendasar bagi kehidupan masyarakat luas. Interaksi antar dimensi seperti ini biasanya terjadi hanya meliputi satu keluarga kecil yang mengharap harta berlimpah.  Atau hanya seorang calon artis yang kepingin terkenal menjadi bintang idola, atau pedagang pasar biar laris dagangannya,dsb.Tapi akan lain ceritanya bila interaksi ini meliputi suatu Dinasti besar yang bersifat sistematis, jangka panjang, mewakili suatu eksistensi yang dalam beberapa generasi mampu menjadi pusat tata kehidupan dari suatu masyarakat luas pada suatu jaman. Tentunya  pola dan sifat yang dibangun dalam interaksi inipun sangat berbeda dalam kuantitas, kapasitas dan kualitasnya. Mengingat pola interaksi ini dilakukan oleh manusia, maka sejauh dan seluas mana tingkat kehidupan yang mampu dipengaruhi oleh interaksi ini juga sangat tergantung pada kapasitas, kuantitas dan kualitas manusia pelakunya itu sendiri. Dari sini mungkin mulai  bisa sedikit kita pahami, bagaimana upaya yang dilakukan oleh orang-orang jaman dulu dengan berbagai bentuk tirakat, laku keprihatinan, tapa brata, dan berbagai bentuk prosesi spiritual yang lain dalam berinteraksi dengan alam halus, dalam upayanya meraih suatu cita-cita. Dimana sampai rela keluar masuk hutan belantara, naik turun gunung, atau berdiam diri sekian lama ditepi samudera yang semua itu didedikasikan  untuk sebuah cita-cita besar agar bisa menjadi raja yang mampu menguasai seluruh tanah jawa sampai beberapa keturunannya. Maka bila upaya itu sampai berhasil tentunya pengaruh yang ditumbulkannya pun juga akan meliputi sebuah tata kehidupan luas yang mencakup seluruh tanah jawa. Dari khasanah yang berkembang dimasyarakat kita, berbagai upaya laku `nggayuh wahyu keprabon`( meraih wahyu kerajaan) ini dipercaya terjadi dijaman masa-masa para tokoh pendiri kerajaan. Dan berikutnya hasil laku tersebut bisa dinikmati dan diteruskan secara turun temurun sampai masa berlakunya habis, yang ditandai dengan berbagai fenomena oncate wahyu keparabon itu sendiri.

Yang menarik disini adalah setiap cita-cita ketika upaya meraihnya sudah berkait dengan metoda spiritual selalu melibatkan fenomena dari alam halus.  Padahal upaya untuk meraih cita-cita tidak semua harus berkait dengan hal-hal yang bersifat spiritual dan berbagai fenomena alam halusnya. Banyak diantara kita dalam menjalaninya menempuh berbagai jalur metoda ilmilah dengan upaya-upaya lahiriah menggunakan berbagai disiplin ilmu dan profesi yang ada. Mungkin dalam upaya lahiriah ini kita sudah mengenal berbagai pola perintisan karier seseorang untuk mencapai sebuah kedudukan atau jabatan `(Raja)` tertentu, dengan menggunakan berbagai standard prosedur operasional yang sudah ditetapkan oleh aturan-aturan dari suatu instansi atau institusi formalnya. Lalu bagaimana SOP (standard operation procedure) dan fit and proper test-nya bila seseorang menempuh karier dengan menggunakan metode spiritual, sehingga seseorang layak mendapat kedudukan, jabatan tertentu seperti seorang Raja ? Dan apa atau bagaimana bentuknya dikehidupan lahiriah ? Pada dasarnya dalam meraih suatu cita-cita, sesungguhnya baik lewat jalur spiritual maupun jalur professional, keduanya akan selalu dihadapkan pada konsekwensi logis yang sama yaitu adanya syarat dan pengorbanan yang harus dipenuhi ( Jer Basuki Mawa Bea)  sesuai dengan cita-cita yang hendak diraihnya. Hanya saja mungkin yang berbeda adalah media, artikulasi, dan bentuk mengekspresikannya.

Dalam jalur profesional, berbagai upaya untuk meraih suatu cita-cita memiliki syarat dan pengorbanan dengan bentuk karakteristiknya sendiri. Di dunia profesi ini fikiran lebih banyak mendominasi dalam mengatur sumber daya dan segala sesuatunya. Semua dihitung secara logis, bisa sistematis atau praktis phragmatis,  dengan membentuk aturan teknis, taktis, strategis, untuk mencapai tujuan dengan mendapat keuntungan sebesar-besarnya, dan resiko kerugian sekecil kecilnya. Biasanya disini penuh dengan hitung-hitungan berdasarkan data dari  luar diri yang ditangkap lewat panca indera dan punya relevansi konkrit untuk mencapai tujuan sehingga orientasinya lebih cenderung Outword Looking. Dengan orientasi yang cenderung keluar ini kalau dipandang dari sudut manusia yang terdiri dari jiwa dan raga, -dimana sementara pemahaman umum jiwa ada didalam dan raga ada diluar-, maka jalur profesional ini lebih banyak berorientasi pada kehidupan fisik. Segala sesuatu diukur dan dilihat dalam ukuran-ukuran pencapaian dimensi fisik yang jelas batas-batasnya (terbatas). Sehingga sesuatu dianggap nyata bila sudah ada bukti fisik  yang menyertainya.

Sedang dalam jalur spiritual, berbagai upaya ini lebih didominasi dengan olah laku yang mengarah ke dimensi ketuhanan yang tidak terbatas. Orientasi sudah lebih mengarah ke dalam diri (inword looking). Dimana secara bertahap menempuh perjalanan fisik demi mengarahkan jiwa untuk mampu menembus batas menuju dimensi yang tidak terbatas. Sebenarnya disini pun juga tetap menggunakan fisik dan fikiran dan sumber-sumber daya kehidupan manusia lainnya, hanya saja arahnya menuju kearah otoritas hidup yang memiliki kemampuan dan ukuran yang melebihi segalanya dari kemampuan dan  ukuran manusia (Adi kodrati) yang diyakini ada di dalam diri manusia itu sendiri. Yang selanjutnya menyerahkan setiap keputusan dan segalanya kepada Sang Adi Kodrati tersebut. Mengingat arahnya menuju tidak terbatas, dan masuk ke dalam diri, maka banyak langkah-langkah yang dilakukan sebagai upaya perjalanan itu dengan melepaskan diri dari berbagai kebiasaan dan batasan-batasan kehidupan di dunia luar yang ada sebelumnya. Yang secara praktisnya sering kita kenal dengan berbagai bentuk olah tapa brata, laku prihatin, menyepi dsb. Dimana berbagai kebiasaan tentang makan, tidur, shawat, dikurang-kurangi sedemikian rupa, supaya tidak terikat pada kehidupan fisik yang terbatas. Demikian pula tentang eksistensi diri dan kepemilikan yang bersifat fisik juga dikurang-kurangi dengan jalan banyak bersedekah membantu yang kekurangan baik dengan harta, tenaga, fikiran dan melakukan semua itu tanpa hitungan atau tanpa pamrih, tidak mengharap mendapat kembalian atau keuntungan secara langsung hasil jerih payahnya itu dari sesama manusia. Sebab semuanya sudah didedikasikan untuk diserahkan kepada Sang Adi Kodrati itu sendiri. Dalam jalur ini, pikiran tidak lagi memegang peran dominan, digantikan oleh  keyakinan atau kepercayaan seseorang yang memimpin semua sumber daya dan gerak perjalanan tersebut, termasuk pikiran. Dan keyakinan ini letaknya ada di Rasa. Sehingga segala sesuatu sudah berkait dengan olah gerak rasa. Mungkin banyak istilah yang digunakan untuk mengungkapkan Rasa ini sehingga melahirkan banyak ilmu rasa. Tetapi untuk pemahaman umumnya bahwa rasa yang dimaksud disini bukan rasa dalam arti perasaan panas, dingin, manis, asin yang berasal dari indera perasa kita. Tapi  Rasa yang lebih bertitik tolak pada rasa percaya akan Realita Tuhan dengan berbagai bentuk manifestasinya dalam kehidupan. Sehingga rasa disini lebih bermaksud sebagai keadaan Rohaniah seseorang ketika berinteraksi dengan realita yang diyakini berasal dari Tuhan.

Kalau sekilas kita melihat dua jalur tersebut memang sepertinya saling bertolak belakang. Dan sepertinya tidak mungkin untuk disatukan. Dimana jalur profesional menuju keluar diri dari yang tidak jelas kepada hal-hal yang semakin jelas batasannya. Sehingga di dunia profesional keakuratan data dan kejelasan batasan segala sesuatunya sangat dibutuhkan untuk mengambil suatu keputusan, sikap atau tindakan. Sedang di dunia spiritual malah sebaliknya menuju ke dalam diri dengan melepaskan berbagai batasan-batasan yang ada untuk mampu menuju hal yang semakin tidak terbatas. Tetapi sebenarnya kalau kita perhatikan dengan lebih seksama, realitanya kehidupan ini berjalan dalam suatu siklus ibarat roda berputar. Dimana segala sesuatu kalau kita memulainya dari yang tidak ada akan berproses menjadi ada dan kembali ke tidak ada. Atau bisa saja kita melihat dari tahap proses dari ada menuju tidak ada untuk kemudian menjadi ada kembali. Jadi kedua jalur ini sebenarnya adalah realita hidup yang berjalan pada suatu proses. Tergantung dari mana kita  memulainya. Bisa dari ada, bisa dari tidak ada. Seringkali bisa kita lihat fenomena-fenomena di dunia profesional yang penuh dengan batasan dan standar-standard baku, tetapi suatu saat ketika dihadapkan pada permasalahan yang sulit tak terpecahkan, atau gerak yang stagnan butuh inspirasi, kreasi dan invovasi baru untuk merubah standard yang sudah ada. Sehingga pada saat inilah dibutuhkannya suatu pola pikir yang kadang terbaca sebagai suatu pola  pikir yang tidak standard seperti biasanya (out of the box). Sedang di dunia spiritual, pada gilirannya hasil dari proses petunjuk-pentunjuk yang di dapat dari Sang Adi Kodrati, dalam implementasinya secara konkrit di dalam kehidupan juga membentuk suatu aturan-aturan bakunya. Yang biasa kita kenal dengan istilah syariat, atau tata cara peribadatan. Jadi bila kita memandangnya sebagai suatu alur siklus kehidupan, sebenarnya kedua jalur itu bisa menjadi sesuatu yang saling mengisi dan memperkuat satu dengan yang lain sehingga terbentuk suatu keseimbangan. Dengan Profesional segala sesuatu bisa diperhitungkan secara cermat pada proporsi batas yang semestinya sehingga terpenuhi target yang dituju secara tepat, efektif, efisien, tidak kekurangan dan kelebihan, sehingga bisa mendapatkan keuntungan yang optimal dan mengurangi banyak resiko kerugian. Dengan spiritual segala sesuatu dikaitkan dengan circumtensis kehidupan yang relative lebih luas dan lebih kuat dari pemahaman, dan kemampuan dan keterbatasan yang ada sehingga memungkinkan untuk mendapat keberuntungan dan menjauhkan dari kesialan dari berbagai hal yang mungkin bisa terjadi dan segala yang tidak pasti diluar kemampuan perhitungan yang mampu dilakukan.

Berkait dengan interaksi dimensional Alam Halus Kraton Kidul dengan peradaban manusia, dari khasanah yang sudah berkembang, kebanyakan menggunakan jalur spiritual. Sepertinya hal ini sudah menjadi konsekwensi yang wajar mengingat jalur-jalur profesional yang ada dengan beragam kecanggihan ilmu dan teknologi lahiriah yang berkembang saat ini belum mampu menembusnya. Sehingga berbagai fenomena yang terkait dengan interaksi itu pun juga menjadi sesuatu yang kadang sulit diterima oleh nalar. Tapi dari perkembangan teknologi saat ini bisa diambil sebagai ilustrasi yang menarik untuk menjelaskan pola interaksi spiritual ini. Dari internet kita mengenalnya sebagai dunia maya. Dimana interaksi antar kita di dunia  maya terjadi bukan dengan kontak fisik, tetapi beragam konsep, pemikiran, ide, hobi, bahkan jual beli dsb, sering kali disalurkan lewat suatu jaringan dan perangkat komputer, yang memungkinkan kita berinteraksi dengan seluruh manusia di dunia cukup di depan meja kita. Sama dengan dunia spiritual, seringkali kita memberi istilah alam halus ini dengan dunia maya. Kraton kidul ini adalah salah satu dari sekian banyak situs maya yang ada di jagad Raya ini. Dan untuk bisa mengakses, browsing, chatting dan download segala sesuatu di dalamnya, paling kita tidak harus punya seperangkat hardware dan software yang compatible, juga jaringan cukup baik untuk tersambung dengan situs web tersebut. Mengingat jalur ini adalah jalur spiritual maka untuk menyelaraskan dan membangun interaksi ini, maka peningkatan kualitas dan kapasitas jiwa (Soft ware ) dan raga (Hard ware) dilakukan dengan cara mendekat sedemikan rupa kepada Sumber dari segala Sumber hidup. Sehingga apabila berbagai olah batin yang dilakukan oleh para pelaku spiritual ini, mendapatkan sumber daya hidup yang cukup dari Yang Maha Hidup, pada gilirannya sampai pada standard spirit yang compatible untuk menerima akses alam Raya. Dari tahap ini sering kali terbukalah berbagai situs wacana dan pagelaran diantara sekian banyak tingkatan alam salah satunya adalah alam maya. Bahkan ada beberapa yang sering kali mendapat `titik pratanda` dari salah satu situs kerajaan di alam maya tersebut, yang kadang berbentuk sasmita, sabda, pusaka, atau benda yang lainya yang fungsi analoginya sama dengan sebagai user ID atau passwordnya dalam dunia internet. Dengan User Id dan Password ini berikutnya tersambunglah interaksi spesifik terhadap portal situs dunia maya di kerajaan tersebut, sehingga bisa memasuki situs, dan mengakses segala sesuatunya didalam situs sesuai yang dibutuhkannya. Di dalam proses mengakses inilah seringkali seseorang harus meninggalkan dimensi fisiknya untuk masuk dunia maya. Bisa lewat mimpi atau lewat meditasi, atau lewat medium, juru kuncinya dsb. Kalau seandainya yang diharapkan adalah keahlian tentang pengobatan, maka dia akan diarahkan oleh Sang Ratu sebagai web master, melalui adminnya yang mengurus masalah kesehatan, untuk mendown load program aplikasi yang berkait dengan pengobatan. Setelah sebelumnya memenuhi, kondisi, persyaratan dan aturan yang ditentukan oleh sang penyelenggara situs maya tersebut. Bila software aplikasi ini sudah terinstal sempurna maka seseorang itu selanjutnya bisa memiliki dan bisa menjalankan kemampuan pengobatan itu dalam kehidupan lahiriahnya. Yang sulit diterima nalar adalah sering kali kita melihat ada seseorang itu sebelumnya tidak tahu, atau tidak mempelajari khusus tentang ilmu kedokteran. Tetapi dengan beragam teknis (Prosesi) unik dan spesifik yang dilakukannya mampu mengobati seseorang setelah ia mendapat instalasi program pengobatan dari dunia maya ini. Dan kalau ditanya kenapa bisa begitu, sering kali si praktisi sendiri sulit untuk menjelaskannya. Sedang gerak atau teknik yang dilakukan hanya karena mengikuti intuisi saja. Hal ini sering kali terjadi bisa jadi akibat dari pola pendekatan yang berbeda dalam proses mendapatkan ilmu dan kemampuannya. Dimana dalam ilmu lahiriah segenap panca indera kita dibuka seluas-luasnya, sebagai pintu untuk mengakses  berbagai ilmu pengetahuan dan kemampuan dari luar diri kita, yang selanjutnya diolah didalam pikiran dan jiwa kita secara sadar, sehingga jelas sekali bagaimana proses belajar ini terjadi di dalam alam sadar kita. Yang selanjutnya bila itu sudah sangat menguasai menyatu dengan jiwa akan mengendap sedemikian rupa ke alam bawah sadar sehingga segala sesuatu yang berkenaan dengan ilmu dan kemampuan itu bisa kita akses kapan saja dengan mudah seperti sudah menjadi gerak reflek yang tidak perlu dipikir-pikir lagi dalam penerapannya (wis kebadan). Sebagai misal, dari sepeda yang beroda dua kita bisa mengendarainya dengan nyaman dan tidak terjatuh karenanya meski tidak ada penyangga di kiri dan kanannya. Hal ini tentu saja bisa terjadi setelah melewati proses belajar naik sepeda. Bila kita sudah menguasai  ilmu naik sepeda, maka ketika kita  butuh mengendarai sepeda sudah seperti tidak perlu dipikir-pikir lagi bagaimana cara mengayuh, mengatur kecepatan,  keseimbangan dsb. Meski sudah puluhan tahun tidak naik sepeda pun kita masih tidak akan lupa, karena ilmunya sudah merasuk sedemikan rupa (kebadan) didalam jiwa dan raga. Sedang ilmu yang didapat dari proses spiritual berjalan dari proses kedalam diri dengan memutuskan hubungan dengan luar, menutup panca indera, untuk menembus alam sadar sampai memasuki alam bawah sadar. Sehingga data-data dan berbagai informasi serta kemampuan, lebih banyak terakses atau diinstal langsung di alam bawah sadar. Dengan demikian, sejalan mampu menembus dan memasuki alam bawah sadar, dan berinteraksi dengan ilmu dan kemampuan yang ditemukan disana, maka ilmu dan kemampuan itu pun sudah  merasuk (kebadan) dengan sendirinya dalam diri seseorang. Hanya saja mungkin sebelum cukup pengalaman mempraktekkannya ke dunia luar, sulit  untuk menjelaskan dari mana dan bagaimana proses kebisaannya itu bisa muncul dari dalam dirinya. Karena didapat dari alam bawah sadarnya bukan dari alam sadarnya. Di tahap ini sering  orang yang mengalami disebut sebagai orang pandai tanpa belajar, atau dadi wong bejo dudu wong pinter. (orang beruntung tapi bukan orang pandai). Sejalan dengan proses pembentukan pengalaman berinteraksi dengan dunia luar, selanjutnya akan diserap kembali kedalam jiwanya realita ilmu dan kemampuan serta implikasinya. Dengan sering mengakses ilmu dari alam bawah sadar ini, dan diterapkan kedunia luar, akan terbentuk pengalaman-pengalaman yang menjembatani antara alam bawah sadar dan alam sadarnya. Sehingga semakin mudah disadari dan dipahami yang akan menjadikannya sebagai wong bejo sing  pinter (orang beruntung yang pandai).  Dengan demikian sesungguhnya baik secara profesional maupun secara spiritual proses belajar ini juga terjadi, hanya saja keduanya menggunakan jalan, cara dan teknisnya yang berbeda. Demikianlah secara garis besar pola interaksi dimensional secara praktis antara dimensi fisik dan dimensi alam halus memungkinkan bisa terjadi. Yang mana dari hasil interaksi ini memungkinkan terlahirnya banyak fenomena kehidupan manusia di alam fisik.

Dalam kaitannya dengan Ratu kidul dan Kerajaan alam halusnya, wacana yang berkembang  di masyarakat kita, sering kali kita temui adanya individu-individu yang setelah melakukan berbagai prosesi tirakat dan olah spiritual, baik secara langsung sendiri-sendiri, maupun lewat media seperti juru kunci, ataupun secara kolektif berkelompok dalam suatu komunitas yang berkait dengan alam halus di Laut Selatan. Dan dari berbagai bentuk prosesi ini dipercaya bisa mendapat berbagai manfaat untuk kehidupannya di alam fisik. Sehingga berkembang kepercayaan bahwa Laut Selatan mampu mendatangkan kelimpahan rejeki kekayaan, menaikkan pangkat jabatan, mendapatkan jodoh, kemampuan kanuragan, memberi berkah keselamatan, dan hal-hal kehidupan praktis lainnya. Dari fenomena praktis ini, keberadaan alam halus Kerajaan Laut Selatan seperti mendapat tempat tersendiri dalam memberi pengaruh pada pola fikir, adat istiadat, dan budaya dalam  kehidupan manusia di berbagai lapisan masyarakat. Sehingga berbagai kalangan dari rakyat jelata dengan standar ekonomi dan pendidikan rendah, sampai kalangan menengah yang berpendidikan tinggi bahkan para pejabat yang berkedudukan terhormat, baik laki-laki  maupun perempuan pernah `ngalap berkah ` di berbagai tempat sepanjang pantai Laut selatan, sesuai dengan basis pengetahuan masing-masing dalam kaitannya dengan fenomena Alam halus Ratu Kidul ini. Dalam perkembangan saat ini terdapat fenomena masyarakat yang menarik, dimana setiap prosesi ini seperti dilakuan dengan sembunyi-sembunyi, dengan pola dan metodologi yang sangat beragam seperti tidak ada standar bakunya (Standadr Operational Procedure). Sehingga segala sesuatu yang berkait dengan interaksi dengan Ratu kidul ini di tengah-tengah masyarakat diterima sebagai `rahasia umum`.Tentu saja hal ini disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah karena mengingat faktor sistem tata nilai yang ada di dalam masyarakat saat ini lebih didominasi dengan pola fikir yang cenderung rasional dan materialistik. Sedang fenomena Ratu kidul dan kerajaan alam halusnya ini lebih di dominasi dan berkait erat dengan masalah spiritual. Sehingga segala sesuatu yang dilakukan tanpa berdasarkan basis rasionalitas yang jelas dan obyektif dianggap sebagai suatu yang tidak ilmiah dan realistis. Dan saat ini orang cenderung malu bila disebut tidak rasional, tidak ilmiah  dan tidak realistis. Realitas  disini cenderung diukur secara materialistik.  Sedang kenyatannya jalur spiritual cenderung menuju kepada hal yang mengarah kepada sesuatu yang bersifat non material. Dan pola pendekatannya karena masuk ke dalam batin, sehingga lebih cenderung subyektif, dalam arti sangat tergantung karakter personalnya untuk mengartikulasikan hal-hal yang dialami selama berinteraksi `ke dalam` tersebut. Maka bisa dipahami bila pola dan metodologi interaksi ini sulit -meski tidak mustahil- untuk dibentuk menjadi suatu standar baku yang seragam, mengingat setiap individu punya karakter dan perjalanan yang unik dan tidak bisa disamakan dengan yang lainnya. Dengan pola subyektif  dan non material ini, realitas diukur dengan adanya tingkat kepercayaan sang subyek akan  suatu nilai substansial.  Dan aspek-aspek yang bersifat material dipahami lebih sebagai simbol manifestai nilai substansi yang dipercayanya itu. Jelasnya, bila dari suatu prosesi spiritual seseorang sudah percaya bahwa dia mendapat nilai substansi (berkah) kekayaan, selanjutnya setiap materi yang kemudian datang dalam kehidupannya  ini dipercaya karena berkah yang telah diterimanya dari proses prosesinya ketika ini. Bagi kalangan rasional tentu saja hal ini dianggap sebagai sesuatu yang konyol dan tidak berdasar ( Gathuk mathuk ). Sebab pola rasional segala sesuatu harus ada kaitannya yang nyata dari sebuah perhitungan. Bila dalam perhitungan itu hasilnya baik maka disebut keuntungan bila hasilnya buruk disebut kerugian. Sedang pada kenyataannya banyak hal yang rasional tidak mampu dan tidak bisa memperjelas kaitannya. Maka bila sesuatu dari yang tidak jelas kaitannya itu terjadi, kalau hasilnya baik maka disebut keberuntungan, bila buruk disebut kesialan. Nah disinilah batas dan garis upaya yang membedakan wilayah spiritual dan Rasional. Upaya upaya yang dilakuakan di dalan ranah rasional cenderung untuk mendapatkan keuntungan dalam kehidupan. Sedang upaya yang dilakukan di dalam ranah spiritual untuk mendapatkan keberuntungan di dalam kehidupan. Mestinya kedual hal ini tidak perlu dipertentangkan.

Wawasan Mataram Binangun
Dari kedua  bentuk upaya tersebut diatas yaitu spiritual dan rasional bila kita mambahas kaitannya dengan fenomena alam di Laut Selatan, mengingatkan kita akan seorang tokoh jaman Mataram Islam dengan gelar yang disandangnya ketika menjadi Raja yaitu Panembahan Senopati. Panembahan bisa diidentikan dengan laku patrap spiritual. Sedang Senopati bisa diidentikan dengan laku patrap rasional. Jadi sedari dulu pensikapan (patrap) yang sebagian besar kita lakukan dijaman ini, sebenarnya sudah ada sejak jaman dinasti Mataram Islam pada abad 16 yang lalu. Dan keduanya tidak dipertentangkan. Hanya saja mungkin dengan kultur dan jaman yang berbeda diungkapkan dengan cara yang berbeda.  

Dengan berdirinya kerajaan Islam di Demak dengan para Walinya yang tergabung dalam jajaran dewan Wali Songo, mengambil peran penting dalam memberi warna pola berfikir dan kehidupan masyarakat yang cenderung spiritualis dengan warna ke-Islam-an. Pergolakan dan dinamika masyarakat jawa dengan beralihnya pusat-pusat kekuasan sejak dari Majapahit, Demak, Pajang, sampai Mataram, tidak terlepas dari pengaruh perkembangan pemahaman spiritual yang ada. Nilai-nilai ajaran Islam dari Jazirah Arab dihadapkan dengan kultur jawa mengalami adaptasi dari waktu ke waktu sehingga membentuk beragam corak keislaman khas yang selintas tampak berbeda sama sekali dengan bentuk asalnya. Meskipun demikian bila dikaji lebih mendalam secara substansial masih sarat mengandung nilai-nilai keislaman. Corak keislaman yang khas jawa ini pada gilirannya mengambil bentuk dalam suatu lembaga yang diwadahi dalam bentuk kerajaan. Nilai-nilai keislaman ini diekspresikan sedemikian rupa dengan gayanya yang khas jawa , Dimana manusia jawa sedari jaman purbakala sudah memiliki akar kesadaran spiritual bersama alam dan lingkungannya dalam bentuk animisme-dinamisme. Pusat kerajaan yang terletak di pedalaman, dengan tingkat kemajuan teknologi transportasi,  informasi dan komunikasi yang sangat minim ketika itu tentu saja akar kesadarannya, relative tidak mudah terpengaruh dengan pola berfikir dan corak kehidupan dunia luar dibandingkan dengan kerajaan yang letaknya di pesisir, dimana menjadikan pelabuhan-pelabuhan laut sebagai pusat interaksi dengan beragam suku bangsa. Pada gilirannya sejalan dengan berpindahnya pusat kerajaan Islam dari pesesir ke pedalaman seperti di Mataram Islam, maka nilai keislaman -yang relative masih muda- masuk ke tanah jawa ini pun semakin jelas lebih diwarnai oleh corak akar spiritual manusia jawa purba. Yang sebelum masuknya nilai Islam kesadaran purba ini sudah disuburkan dengan masuknya ajaran Hindu dan Budha dengan pola sinkritisme. Meski demikian gelombang ajaran Islam yang sedang mendominasi kesadaran spiritual waktu itu mampu meresap secara lembut ke dalam kesadaran masyarakat jawa. Dan terbentuklah sinkritisme kesadaran baru yang ajaran Islam ikut memberi warna didalamnya. Dengan corak yang sarat dengan akar kesadaran purba manusia jawa  ini, dalam kehidupan sekarang, berbagai bentuk adat istiadat budaya sisa tradisi peradaban Mataram Islam saat ini, sering kali dipahami sebagai pola hidup yang jauh dari nilai-nilai keislaman yang semestinya. Tetapi sesungguhnya proses sinkritisme ajaran islam dengan akar budaya manusia jawa ini akan bisa dipahami secara utuh manakala kita mampu menempatkan konteks substansi nilai tersebut pada porsi yang semestinya. Untuk itu pembahasan fenomena interaksi dimensional Ratu Kidul dengan peradaban Mataram Islam ini bisa menjadi contoh yang baik untuk menempatkan proporsi dan menjelaskan proses kesadaran spiritual ini dalam subtansi (isine) dan media ekspresinya (wadahe).

Didalam prinsip dasar (aqidah) ajaran Islam dikenal adanya Tauhid (Keesaan-Kemanunggalan). Sehingga Islam dikenal sebagai agama monoteisme. Dimana hanya menyembah kepada satu Tuhan yaitu Allah SWT. Substansi Ke-Esa-an disini ada dua bentuk ekspresi yaitu Tauhid Ilahiyah dan Tauhid Rubbubiyah. Tauhid Illahiyah terkait dengan keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada tergelar di Jagad Raya ini akan tidak ada dan semua akan kembali kepada Allah SWT. Tidak ada satupun yang tersisa dari suatu keberadaan kecuali hanya Allah SWT. Dogma tauhid Ilahiah ini sering diungkapkan dalam suatu kalimat tahlil Laa ilaaha ilallah (Tidak ada Tuhan selain Allah). Yang secara pemahaman jawa Allah diungkapkan dengan parane Gesang (tujuan hidup). Dalam kedudukannya sebagai Ilaahi proses pengesaan Allah dalam Tauhid Ilahiyah ini dipahami dengan  gulung jagad saka ana tumuju honya (Menggulung Jagad dari ada menuju tidak ada). Sedang Tauhid Rubbubiyah berkait dengan keyakinan bahwa segala suatu yang tidak ada hanya akan ada bila Allah berkehendak mengadakan. Adanya sesuatu karena Allah yang mengadakan. Dalam Tauhid Rububiyyah ini Allah berkedudukan sebagai Rabb adalah Maha Pencipta. Yang sering diungkapkan dalam Al Quran dengan Allahu Rabbus sama wati wal arldi ( Allah Dialah Tuhan Pencipta langit dan bumi). Dalam ungkapan jawa Allah disebut dengan Sangkane Hurip ( Allah asal muasal hidup) dan dalam proses pengesaanNya dipahami dengan gelaring jagad saka Sonya marang hana. (menggelar jagad dari tidak ada menjadi ada.) Dari tauhid inilah ajaran Islam mendasarkan segala eksistensi kehidupan. Bila ada keyakinan bahwa ada sesuatu yang mampu mengadakan maupun meniadakan selain Allah, sesuatu itu dianggap sebagai sekutu Allah. Dan tindakan mensekutukan itulah yang disebut syirik. Dari kedua bentuk prinsip Tauhid itu, umat Islam mengekspresikanya dengan beragam bentuk peribadatan. Baik yang sifatnya ritual (syar`i) maupun ibadah dalam bentuk kekaryaan (muamalah). Dalam peradaban Mataram Islam yang mendudukkan Raja sebagai wakil manifestasi keberadaan Allah di muka bumi, secara substansial menegaskannya keyakinan tersebut dengan suatu ungkapan yang bisa kita temukan dalam gelar yang disandang  Sang Raja yaitu Panembahan Senopati. Dimana Panembahan adalah suatu patrap kepada Allah swt sebagai ilahi dalam tauhid Ilahiah. Sedang Senopati adalah patrap kepada Allah sebagai Robbi dalam tauhid rubbubiyah. Hal ini secara substansi bisa dipahami demikian. Jika manusia  di dalam proses gulung gelare jagad ngudi sangkan paraning dumadi (menggulung dan menggelar jagad mencari asal dan tujuan keberadaan) mampu menyeimbangkan darmanya dengan patrap jejer panembahan senopati, maka seseorang itu layak menjadi Raja yang mewakili Allah (khalifatullah) dimuka bumi. Jejer Panembahan Senopati ini sebagai suatu nilai sebenarnya bisa dipahami lebih luas bukan hanya sebagai gelar tapi sebagai realitas manusia dalam mensikapi kehidupannya. Panembahan secara subtansinya bisa diungkapkan sebagai darma kepada Allah dalam kedudukannya(jejer) sebagai seorang hamba Allah (Abdullah) menjalani karya kehidupan dengan peribadatan ritual (Syar`i)(Panggawe sarana Panembah). Sedang senopati dalam darmanya kepada Allah dalam kedudukannya sebagai Wakil Allah (Waliullah) menjalani peribadatan dengan berkarya (muamalah) bagi kehidupan (Panembah sarana panggawe). Dalam aktualitanya patrap panembahan ini biasanya menggunakan jalur spiritual yang dalam menjalankan perannya didominasi oleh aktivitas Dzikir, sedang patrap senopati menggunakan jalur profesional didominasi oleh aktivitas fikir. Jadi secara praktisnya substansi patrap jejer Panembahan senopati dalam menjalankan darma adalah menyeimbangan diri dalam dzikir dan fikir. Membangun dan menyeimbangkan kecerdasan spiritual dan kecerdasan Intelektual.

Sejalan dengan pemahaman akan jejer panembahan senopati sebagai nilai hidup yang memiliki substansi ketauhidan ini, ketika berkait dengan dimensi alam halus seperti Ratu kidul di Laut Selatan sepertinya akan menjadi suatu bahasan yang menarik. Bagaimana memahami realita interaksi Ratu kidul dan Panembahan Senopati dalam perannya membentuk peradaban Mataram Islam ? Seperti sudah banyak disinggung dimuka, bahwa interaksi dengan alam halus ini, lebih banyak menggunakan jalur spiritual. Dengan sendirinya segala fenomena yang terjadi sangat terkait dengan perjalanan yang bersifat batin dan subyektif. Sehingga bagaimana fakta dan realita konkritnya tentu sebagai pendiri Mataram Islam hanya Allah dan Sang Danang Sutowijaya sendiri yang paling tahu seutuhnya. Tetapi sebagai nilai kehidupan patrap Panembahan Senopati ini, bisa dijadikan sebagai sarana untuk memahami pola interaksinya disini. Tetapi karena patrap ini adalah suatu substansi (isi) dari realita, akan lebih mudah dipahami bila kita juga mengakitkan dengan realita faktualnya (wadah). Dimana dalam babad Tanah Jawa dikisahkan Latar belakang First Contact (Kontak pertama) Ratu Kidul dengan Danang Sutowijaya. Meski realita yang disuguhkan dari babad tidak bisa dipegang sebagai fakta sejarah secara akademis, tapi disini kita bisa menyerap nuansanya. Yang mana dari nuansa yang diceritakan dalam serat Babad tersebut berkas-berkasnya masih kita bisa rasakan pengaruhnya sampai sekarang dalam pola fikir dan kebiasaan masyarakat kita terutama yang ada di jawa.

Dalam mendirikan Kerajaan Mataram Danang Sutowijoyo dikelilingi dengan beragam fenomena yang sarat nuansa spiritualnya. Seperti dikisahkan dalam babad tanah jawa,  Alas Mentaok sebagai cikal bakal kerajaan Mataram, dihadiahkan oleh Sultan Hadiwijoyo dari Kerajaan Pajang sebagai penguasa pada waktu itu kepada Ki ageng Pemanahan ayahanda Danang Sutowijaya, atas jasanya membunuh Aryo Penangsang yang menjadi kompetitor utama sang Sultan untuk naik tahta. Konon sudah di ramalkan oleh sunan Giri bahwa di alas mentaok akan berdiri Kerajaan besar yang mampu menguasai seluruh tanah jawa termasuk Pajang dan Giri sendiri. Sebagai penguasa, Sultan Hadiwijaya mendengar nubuwat tersebut mengalami keraguan untuk menyerahkan bumi mataram kepada Ki Ageng Pemanahan sampai akhirnya Sunan Kalijaga sebagai guru spiritual mereka berdua mengingatkan akan janji seorang raja yang tidak bisa dilanggar. Yang akhirnya Bumi Mataram diserahkan kepada Ki Ageng  Pemanahan untuk dibedah menjadi sebuah kadipaten dibawah Pajang. Selain faktor-faktor yang lain, dari nubuwat Spirit inilah paling tidak yang ikut melatarbelakangi sikap dari masing-masing pihak dalam upayanya menjadi penguasa tanah jawa, yang akhirnya melahirkan peperangan antara Pajang dan Mataram. Yang pada peperangan itu Danang Sutawijaya sebagai putra Ki Ageng Pemanahan sekaligus penerus penguasa Mataram, bersama Ki Juru Mertani mulai melibatkan alam halus yang ada di gunung Merapi dan Ratu Kidul penguasa alam halus Pantai Laut selatan untuk memenangkan perang.

Dari ringkasan alur sejarah menurut babad tanah jawa tersebut, pendirian suatu kerajaan di Tanah jawa ini sepertinya terkait erat dengan Nubuwat yang bersifat spiritual. Bukan hanya sekedar proses politik dan dinamika sosial saja. Realita spiritual disini biasanya keluar dari para tokoh yang secara kapasitas dianggap mumpuni dalam menangkap realita ketuhanan dan alam semesta secara implicit, seperti para Wali atau para Ki Ageng. Sehingga sebelum menjadi seorang raja, sering kali muncul kisah yang menunjukkan upaya laku dari seorang calon Raja lewat jalur spiritual, dengan bertapa, prihatin, tafakur dsb dibeberapa tempat yang memiliki karomah (keramat), seperti di hutan, gunung, goa, sungai atau tepi samudera dsb. Dimana dalam laku tersebut seperti digambarkan dalam lakon pewayangan seperti yang dilakukan oleh Abimanyu atau Arjuna adalah guna mendapatkan wahyu keprabon (wahyu kerajaan). Yang dengan wahyu tersebut dipercaya seseorang akan mampu berhasil menduduki tahta kerajaan sampai beberapa keturunannya. Sedang bagi tidak mendapat wahyu, meskipun  sudah berupaya sebegitu rupa dengan beragam cara, teknis,  taktis dan strategi akan menuai kegagalan. Wahyu dinisbatkan dengan keputusan yang berasal dari Tuhan. Sehingga siapa saja yang kewahyon berarti sudah mendapat ijin dan kekuasaan dari Tuhan untuk mewakili karyanya dimuka bumi. Karena hal ini sudah menyangkut ranah spiritual, tentu saja hal ini berkaitan dengan masalah kepercayaan yang ada. Dengan latar belakang masyarakat yang didominasi dengan kehidupan spiritual pada masa itu, otoritas wahyu ini sedemikian jelas memberi pengaruh bagi suatu keputusan di jajaran para petinggi di pusat kekuasaan dan lembaga terkait lainnya, bahkan dengan caranya yang unik performa per –wahyu-an ini mampu ditangkap oleh masyarakat sampai di desa-desa. Sehingga sampai saat ini adat untuk pemilihan kepala desa dibeberapa daerah di tanah jawa ini, masih menyisakan kepercayaan yang berkait dengan fenomena otoritas wahyu tersebut.

Sejalan dengan masalah otoritas perwahyuan bagi kerajaan di tanah jawa ini terdapat kisah yang terkait dengan Ratu Kidul. Dimana  Danang Sutowijaya yang secara genetik keturunan Ki Ageng Pemanahan tapi posisinya juga sebagai anak angkat Hadiwijaya Sultan Pajang. Sedang menurut nubuat sunan Giri, Mataram akan menjadi kerajaan besar di Jawa, tetapi kenyataannya masih dibawah Pajang. Ini menjadi sebuah dilema. Mengingat kebesaran Mataram berarti kesurutan Pajang. Atas nasehat ki Juru Mertani selanjutnya sang Danang diperintahkan untuk Memohon keputusan Allah dengan bertapa ngeli (menghanyutkan diri) dari kali Opak sampai akhirnya sampai di tepi Laut Selatan. Dikisahkan karena kuatnya tapa brata yang dilakukannya, sampai dayanya mampu menggoncang kerajaan alam halus yang ada di Laut selatan. Ratu Kidul sebagai penguasa Laut selatan selanjutnya mencari penyebab gara-gara. Sang Ratu keluar dari kerajaanya menuju tepi samudera bertemulah dia dengan sang Panembahan yang sedang bertapa, lalu memohon sang panembahan untuk menyudahi tapanya supaya gara-gara di Laut selatan ini bisa segera reda. Dan dikabarkan oleh Sang Ratu bahwa permohonannya kepada Allah untuk menjalani Nubuat sebagai Raja sudah dikabulkan. Sang Danang akan menjadi Raja di Mataram menguasai seluruh tanah jawa tanpa tanding. Jin setan peri-perayangan di tanah jawa juga dalam kuasanya, sehingga mereka akan membantu bila nanti Mataram sedang mengalami kesulitan. Selanjutnya Selama 3 hari 3 malam Sang Danang berada di Kerajaan Laut Selatan. Selama disana sang Danang menjalin romantika bersama Ratu Kidul dan diberi petunjuk tentang ilmu orang menjadi Raja yang memimpin Manusia, Jin dan Peri (Babad Tanah Jawi :2008; 94-98).

Di dalam dunia spiritual, wahyu diyakini sebagai suatu petunjuk yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Dan untuk bisa menerima petunjuk Tuhan, seorang manusia biasanya melakukan berbagai upaya mendekat kepada Tuhan dengan segenap kerendahan hati dan keprihatinan yang mendalam akan keadaan kehidupan yang dihadapinya. Berbagai upaya ini dilakukan dengan melepaskan ikatan-ikatan duniawi yang bersifat fisik - dengan ungkapan lain disebut bersuci-, sampai mampu memasuki dimensi Ketuhanan yang tanpa batas. Dengan terlepasnya ikatan-ikatan fisik dari batinnya, maka jiwanya mampunyai kekuatan untuk berjalan dialam batin dengan lebih kuat dan leluasa. Sehingga sang pejalan ini mampu memasuki alam kesadaran yang lebih tinggi dari alam kesadaran dimensi fisik. Sebelum sampai kepada alam ketuhanan, biasanya sang pejalan akan mengalami berbagai pergolakan batin sedemikian rupa, yang digambarkan didalam pewayangan adalah ketika sang Arjuna sedang berperang dengan para raksasa (perang kembang) atau godaan para bidadari yang cantik jelita yang mengharap sang Arjuna menghentikan pertapaannya. Bila Sang pejalan teguh pendirian dan perkasa jiwanya, mampu menyelesaikan berbagai pergolakan batin tersebut. Maka sampailah pada keadaan batin yang tenang tanpa pergolakan ( jenjem, jinem,  tidem permanem). Tapi meskipun kondisi keadaan sudah tenang bukan berarti melenakan malah semakin peka  dan makin tinggi tingkat kewaspadaan diri yang terbentuk (eneng, ening, awas, eling) yang mengarah kepada Tuhan semata. Rasa kedekatan dengan Tuhan sedemikian nyata, seperti Abdi Dalem yang sedang menanti didepan pintu Sri Manganti menunggu perkenan dari Tuannya. Bila Tuhan sudah berkenan dengan hamba-Nya maka dibukalah pintu Rasa jati untuk sang Hamba supaya bisa memasuki alam Kerajaan-Nya. Di dalam alam ketuhanan inilah sang pejalan mengalami keadaan batin  yang penuh dengan kasih sayang, kedamaian,  kebahagian, ketentraman dan kemuliaan sedemikian rupa (sarwo becik) yang tak dapat disamakan dengan apapun juga (tan bisa kinaya apa). Selanjutnya datanglah Sang Utusan Tuhan yang Abadi memberi petunjuk-petunjuk atas nama Tuhan tentang segala sesuatu yang menjadi permasalahan dan tugas dalam hidupnya. Dalam kondisi seperti inilah sering kali disebut seseorang menerima wahyu Tuhan. Selanjutnya setelah kembali ke kesadaran fisik di dalam batin sang pejalan akan mengalami perluasan kesadaran sedemikan rupa yang menjadikan dirinya memiliki visi hidup meluas dan lebih jelas dari sebelumnya. Dan sisi lain kadang diikuti dengan terlahirnya berbagai bentuk kemampuan-kemampuan luar biasa atau daya  kesaktian (karomah atau mujizat) `secukupnya` yang akan membantu dirinya supaya bisa menjalankan misi kehidupan yang diemban dari Tuhannya dengan baik. Demikian ilustrasi  dunia spiritual yang menggambarkan kondisi batin seseorang ketika mengalami proses penerimaan wahyu dari Tuhan.

Dari keterangan tentang kondisi diatas, perjumpaan Panembahan Senopati dan Ratu Kidul berkait dengan turunnya wahyu Mataram dalam cerita babad, seperti memiliki nuansa yang sama dengan kondisi yang digambarkan di atas. Dimana sebelum memasuki kerajaan Laut Selatan digambarkan sang Panembahan menimbulkan gara-gara yang mengoncang seisi kerajaan. Disini adalah saat-saat pergolakan batin terjadi sebelum memasuki Alam Ketuhanan. Dan sepertinya sudah menjadi kebiasaan masyarakat jawa yang sarat dengan karya sastra yang penuh simbolik, dan mampu mengilustrasikan romantika spiritual ini sedemikan rupa sehingga terasa demikian nyata peristiwanya bagi yang menerima karena mengambil bentuk dan setting yang mudah dipahami bagi yang masih banyak berada di tingkatan kesadaran fisik. Sedang realitanya sebenarnya tidak terjadi di dimensi fisik, tapi di dimensi gaib sampai dimensi Ketuhanan. Mungkin demikianlah kebijaksanaan sang penulis babad atau yang empunya cerita untuk meninggalkan suatu karya sastra yang penuh simbolik dan misteri bagi anak cucunya dengan harapan kelak generasi penerusnya mampu mengkaji dan mengalaminya sendiri. Eksistensi Ratu kidul disini bisa dipahami sebagai malaikat pembimbing (Guardian Angel) yang bertugas untuk menurunkan wahyu Tuhan kepada hamba-Nya. Kalau dalam khasanah dunia sufi biasa disebut sebagai Nur Muhammad yang merupakan manifestasi Sifat Allah dengan segala Omnipotensi kolektive dinamis yang bersifat universal meliputi seluruh alam dan seisinya. Dimana hakekatnya tidak mengambil bentuk, ruang dan waktu dalam kemakhlukan tapi lebih sebagai kesadaran agung azali abadi yang berdiri sendiri sebagai sifat Allah yang tidak laki-laki maupun perempuan, dengan wilayah kekuasaan mewakili Allah SWT yang meliputi seluruh alam dan seisinya. Ibarat Allah SWT adalah Samudera maka Nur Muhammad adalah Ombak dan dinamika dari beragam sifat-sifatNya. Yang dengan beragam sifat tersebut memudahkan manusia dengan segala keterbatasannya memahami dan menghayati realita Dzat Allah SWT yang tidak bisa digambarkan dengan apapun juga. Disisi lain juga berperan sebagai Guru Jagad yang menuntun seluruh umat untuk bisa menjalani kehidupan dan kembali kepada asal muasalnya dengan sempurna kepada Allah SWT. Ketika Kesadaran Agung ini masuk dalam ranah kesadaran manusia dengan segala keterbatasannya diekspresikan sedemikan rupa beragam sesuai dengan latar belakang dan tantangan kehidupan yang dialaminya. Sehingga wujudnya yang dipersonifikasikan sebagai perempuan bisa dipahami sebagai manifestasi untuk mempermudah penggambaran akan bentuk romantika dan kasih sayang ilahiah seorang hamba yang berjenis kelamin laki-laki bila sedang beradu kasih dengan Tuhannya. Seperti yang mungkin juga sering diungkapkan tokoh-tokoh sufi dari Timur Tengah dalam upayanya menggapai cinta Allah dengan beragam bait puisi cintanya. Disisi lain, hubungan Panembahan senopati dengan Ratu Kidul bisa dipahami sebagai hubungan spiritual seperti hubungan Bima dengan Dewa Rucinya, atau antara Siswa dengan Sang Guru Sejatinya. Pengungkapan kecintaan yang sedemikan dalam antara siswa dengan Sang Guru sejatinya sering diungkapkan dalam bentuk Jatukramaningsun Kang Sejati ya Sang Guru Sejati ( Jodohku yang sejati adalah Sang Guru Sejati). Lewat Sang Guru Sejatinya inilah sang Penembahan menerima, kasih sayang, tuntunan, petunjuk, pertolongan, perlindungan, dan kekuasaan dari Allah SWT dalam menjalani dan menyempurnakan darma kehidupannya baik di dunia maupun di akherat. Seperti halnya Bima menemukan Dewa Ruci di dasar Samudera, sang Panembahan pun menemukan Guru sejatinya di dasar Samudera Laut Selatan setelah mampu melewati  pergolakan besar (gara-gara) di dalam dasar samudera batinnya. Sehingga dalam konteks kesadaran  ilahiah ini, Laut Selatan sebagai kerajaan adalah suatu media ekspresi untuk menggambarkan realita kekuasaan Tuhan yang maha besar luas tak berbatas. Kalaulah berikutnya ketika masuk dalam kesadaran fisik akhirnya Laut Selatan dijadikan sebagai tempat sakral, dengan beragam cara pemujaan, adalah gejala fenomena yang wajar bagi penghargaan akan suatu kesadaran Agung yang dalam konteks awal penemuannya terjadi di tempat tersebut. Seperti halnya beberapa situs spiritual ditempat lain yang mendapat perlakuan secara khusus oleh umat-umat yang mempercayainya diberbagai bentuk kehidupan beragama. Hanya saja kalau akhirnya terjadi distorsi pemahaman dan penghayatan dari sifat kemakhlukan yang terbatas, sehingga malah menyembah Samudera bukan Tuhan yang mencipta Samuderanya, adalah tantangan yang selalu muncul dari jaman ke jaman dari setiap simbol-simbol peribadatan yang ada disetiap bentuk agama.

Di dalam kitab Babad atau dalam pentas drama tradisional jawa seperti Kethoprak, kiprah sang Senopati dalam menjalankan darmanya digambarkan lebih dominan dengan hal-hal yang berhubungan  dengan masalah perluasan wilayah,  menaklukkan kerajaan-kerajaan, atau kadipaten di tanah Jawa baik secara diplomatik maupun militer. Di dalam masa perluasan wilayah secara militer inilah sering kali Sang Guardian Angel Ratu kidul ikut serta turun tangan membantu perang. Cerita babad banyak dipenuhi cerita peperangan, sehingga terkesan sang Guardian Angel ini lebih berperan sebagai jago perang dari pada sebagai pemberi petunjuk jalan kehidupan dengan kebijaksanaanNya. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari pola penceritaan dan latar belakang sosial yang sarat dengan budaya patrilineal. Dimana penggambaran seorang Raja dikenal kejayaan dan kebesarannya diukur dari tingkat kesaktian dan kekuasaan yang dimiliknya. Sedang Sang Ratu yang digambarkan sebagai perempuan hanya pendamping setia, yang sewaktu-waktu datang bila diminta bantuannya. Berkaitan dengan peran Sang Guardian Angel dalam kiprah sebagai  Senopati, cerita-cerita peperangan ini ibarat bunga adalah bentuk, rupa dan warnanya. Sehingga lebih mudah dilihat, dipahami dan diterima oleh khalayak luas sebagai legitimasi politik kekuasaan. Sedang peran Sang Guardian Angel sebagai Penuntun dan pemberi petunjuk jalan kehidupan yang bijaksana ibarat bunga adalah baunya. Tidak kelihatan, tetapi tercium harumnya. Hal ini bisa dimengerti karena tuntunan dan petunjuk kebijaksanaan hidup yang diterima dari sang Guardian Angel dalam beberapa keadaannya tidak mudah dipahami dan diterima oleh khalayak ramai. Dan biasanya peran ini sering kali muncul ketika sang Senopati sudah merubah jejer menjadi Panembahan sebagai  Wong Agung Ngeksi Ganda ( Orang mulia yang mencari sari pati kehidupan dari sekian banyak bunga kehidupan) yang bila bercengkrama dengan Sang Guardian Angel sebagai Sekar Kedhaton di tengah Taman Sari Kehidupan ing sela-sela lenane kamanungsan (kehilafan manusia menangkap hikmah kehidupan). Disini Sang Guardian Angel berperan dengan Omnipotensinya dalam beragam bentuk manifestasi yang menebarkan beragam pesona dan sari pati nilai-nilai kehidupan. Dari beragam manifestasi yang ada, - dalam kaitannya dengan sang Panembahan yang berperan ibarat kumbang sedang mencari sari patinya nilai kehidupan -, secara substansi Sang Guardian Angel berperan sebagai Bunga yang menjadi Sumber Kehidupan. Sesuai dengan kompleksitas kehidupan yang dihadapi sang Panembahan, maka Sang Ratu pun juga tampil dalam manifestasi beragam yang selaras dengan masing-masing sisi kehidupan tersebut. Sehingga adakalanya Sang Ratu bermanifestasi sebagai Sekar Jati, yang mengajarkan kepada sang Panembahan tentang ilmu kasampurnan dan kesejatian (sangkan paraning dumadi) yang berisi beragam ajaran bijak jalan mencapai kesempurnaan hidup mengenal Allah dan jalan penyatuan dengan sang Khalik dan Alam Semesta dalam darmanya Memayuhayuning Bawana (berperan serta membangun kesejahteraan dunia), yang merasuk dalam jiwa sang Panembahan sebagai Wahyu Kapandhitan. Adakalanya sang Guardian Angel bermanifestasi sebagai Sekar Murti mengajarkan kepada sang Panembahan beragam ilmu mengenal, mengendalikan, menguasai serta menggunakan  beragam unsur alam dari berbagai tingkatan dimensi, yang akan melahirkan kebijaksanaan, kewibawaaan, kepemimpinan, Kejayaan , kesaktian yang menyatu dalam harmoni semesta. Yang merasuk dalam diri sang Panembahan sebagai Wahyu Kasenopaten. Pada saat yang lain Sang Ratu bermanifestasi sebagai Sekar Arum yang mengajarkan Sang Panembahan tentang berbagai cara membentuk watak utama, dan budi pekerti luhur, membangun pranata sosial budaya dan agama dalam beragam sisi keseimbangannya, dan pelestarian serta regenerasi kehidupan. Yang merasuk dalam diri sang Panembahan sebagai Wahyu Keprajan. Dan ketika Sang Ratu bermanifestasi sebagai Sekar Jagad, mengajarkan kepada sang Panembahan beragam ilmu tentang pengelolaan Sumber Daya Alam maupun manusia, untuk membentuk pertumbuhan dan perkembangan kehidupan lahir maupun batin sampai melahirkan Kemakmuran, Kesejahteraan dan Kemuliaan hidup seluruh isi Negara dalam beberapa generasi. Yang merasuk dalam diri sang Panembahan sebagai Wahyu Karaharjan. Sebagai Panembahan cenderung menutup diri dari dunia luar, tersembunyi dari keramean -lakune rame ing sepi, (menjalani ramai di dalam sepi)-. Sehingga hanya kalangan terbatas saja yang memungkinkan  bisa menerima hasil penggalian pesona `Intan, berlian dan mutiara hidup ` dari Laut Selatan ini. Tetapi sebagai tanggung jawab moral dan spiritual bagi generasi penerusnya, nilai-nilai luhur yang diterimanya tidak dibiarkan kabur begitu saja hilang ditelan jaman. Dengan beragam metoda spirit yang unik disemailah mutiara – mutiara kehidupan dari Selatan itu. Adakalanya terselip rapi diantara untaian bait-bait simbolik karya sastra kapujanggan, maupun dalam bentuk beragam prosesi tradisi dan gelar seni budaya di beberapa generasi. 

Dari beragam kebijaksanaan yang diterima oleh sang Panembahan dari Sang Sabda Sekar Kedhaton ditataran dimensi Ketuhanan yang tidak terbatas, memiliki subtansi ajaran yang bersifat universal, abadi tidak terbatas ruang dan waktu. Dan Sang Sekar Kedhaton sebagai manifestasi sifat-sifat Tuhan menjelma di dalam jiwa sang Panembahan sebagai kesadaran agung Wahyu Mataram itu sendiri. Setelah melewati fase gulung jagad, dengan melepas batas-batas kehidupan jejer sebagai panembahan  untuk menerima nilai-nilai kehidupan  dan mengalami perluasan kesadaran yang terjadi di alam Ketuhanan yang tak terbatas tersebut, pada gilirannya diturunkan kembali ke alam dibawahnya baik di dimensi alam gaib maupun alam fisik untuk menjalankan sebuah misi hidup. Pada fase gelar jagad ini, sang penembahan berganti jejer sebagai sang Senopati untuk  menurunkan nilai-nilai kehidupan dengan visi yang membawa nilai dan mengambil bentuk batasan-batasan baru sebagai jawaban dari berbagai tantangan masalah kehidupan yang dialami sebelumnya di jagad besarnya. Dalam menjalankan tugas hidup dengan membawa misi perubahan ini, tentunya akan menghadapi berbagai tantangan yang tidak sederhana. Untuk itu dibutuhkan kekuatan dan kemampuan sebanding dengan kompleksitas permasalahan yang dihadapinya. Maka terbangunlah suatu interaksi dinamis yang holistik, Integral dan komphrensif dengan berbagai tingkatan dimensi tata kehidupan di jagad besar. Baik dari dimensi fisik maupun dimensi halus. Dengan Wahyu Mataram yang diterimanya, yang secara substansi adalah manifestasi dari Sifat-sifat Allah dengan segala Kuasa-Nya, memungkinkan sang Senopati mengakses daya Kekuasaan Allah yang tergelar dijagad besar yang sebelumnya berbagai macam daya hidup itu sudah tersusun sedemikian rapi dalam bentuk Kerajaan-kerajaan Semesta. Salah satunya adalah Kerajaan Halus di Laut selatan. Di tingkatan alam gaib ,maupun alam fisik di jagad besar yang bersifat kemahlukan ini,  akan terbangun interaksi kodrati sesama makhluk bila terdapat  kemanunggalan laras (kesamaan sifat) dalam misi hidup yang diembannya dari Allah SWT. Maka  ketika substansi sifat Allah sebagai Sang Sekar Kedhaton di jagad kecil sang Penembahan tersebut memiliki laras yang sama dengan sifat makhluk sosok yang menguasai Alam Halus di Laut Selatan di jagad besar (alam halus), dengan sendirinya kemanunggalan laras ini mendekatkan dan memungkinkan terjalinnya suatu hubungan alamiah  yang lebih spesisfik diantara mereka. Sehingga pada titik perjumpaan ini teraktualisasilah bagi sang Panembahan Senopati realita sifat Allah dalam bentuk Sekar Kedathon ini secara utuh di jagad kecil maupun jagad besarnya. Baik dalam bentuk kesadaran maupun dalam bentuk daya kesaktiannya. Dalam bentuk kesadaran diterima ketika jejer sebagai Panembahan (Hamba Allah) di Jagad kecil, dalam bentuk kesaktian diterima ketika Jejer Senopati (wali Allah) di Jagad besar.  Kesadaran dinisbatkan sebagai Sifat Allah dalam bentuk laki-laki (lingga) dan kesaktian dinisbatkan Sifat Allah dalam bentuk perempuan (Yoni).*) Sehingga sering kali dalam konteks ini Sang Sekar Kedhaton bisa dipahami dalam dua karakter, bisa sebagai laki-laki, bisa sebagai perempuan. Sebagai laki-laki bila bertemu dalam jejer panembahan. Sebagai perempuan bila bertemu dalam jejer senopati. Sebagai penembahan yang gulung jagad bersifat pasif berserah diri sehingga ini sikap yang dinisbatkan dengan karakter perempuan. Sehingga sang Sekar kedhaton bersifat aktif yang dinisbatkan sebagai watak laki-laki. Sedang sebagai Senopati karena sudah menggelar jagad mengemban misi dan perluasan kesadaran ke jagad besar maka bersifat aktif,  ini dinisbatkan sebagai karakter laki-laki. Dan Sekar Kedaton bersifat pasif - tut wuri handayani - yang dinisbatkan sebagai karakter perempuan. Hanya saja ketika Sang Sabda ini digambarkan bersifat laki-laki karena ini terjadi di jagad kecil sang Panembahan, maka mengambil bentuk wadag sang Panembahan sendiri sebagai perantara Wahyu yang secara fisik kebetulan berjenis kelamin laki-laki. Tapi seandainya jenis kelamin Sang Penembahan kebetulan perempuan pun, tetap saja Sang Sabda berkarakter Maskulin, meski menggunakan fisik sang Panembahan yang berjenis kelamin perempuan itu sebagai perantaranya. Hal ini mengingatkan akan kisah  manifestasi Sang Sabda yang bersifat maskulin ini dalam diri Retna Suwidi yang menyatu sedemikian rupa sehingga mampu merubah fisiknya menjadi laki-laki dengan sebutan ki Ajar Cemara Tunggal. Mengingat sifat Maskulin dalam tataran ilahiah ini tidak terkait dengan jenis kelamin fisik dari penerimanya. Sedang dalam jejer senopati, sifat Allah yang bermanifestasi sebagai Sekar Kedhaton ini menggambil sosok yang berbentuk di luar diri sang Senopati sebagai perantara jodohnya wahyu. Mengingat konteksnya sudah ada di tahap gelaran jagad besar maka manifestasi karekteristik Sang Sabda ini dengan kebijaksanaan-Nya mengambil bentuk sosok perempuan di luar diri sang Senopati. Yang dari sini lebih mudah dipahami proses interaksi dialektikanya dengan Sang Senopati yang berjenis kelamin laki-laki. Meski hakekatnya Sang Sabda tidak terkait dengan jenis kelamin sang perantara. Yang lebih menambah kompleksnya adalah karena  dalam konteks  ini, figur makhluk di jagad besar sebagai perantara jodoh wahyu tersebut sosoknya tidak hanya ada di alam fisik tetapi ada di alam gaib.Yang kemudian secara umum dikenal dengan sosok Ratu Kidul sebagai istri Gaib Sang Senopati. Meski demikian Sang Senopati di dimensi fisik tidak menjalani Wahdat (tidak bersitri). Dalam beberapa kesempatan Sang Sabda ini memungkinkan untuk nyaliro tunggal dengan istri  sang Senopati di alam fisik. Dengan omnipotensi yang ada dalam manifestasi Sang Sabda, tergantung konteksnya dalam tata kehidupan yang Kompleks maka tidak hanya memakai satu tubuh fisik saja sebagai perantara jodoh sang senopati. Perpaduan (perkawinan) dengan beragam jodoh kodrati baik di alam gaib maupun alam halus itu, terlahirlah beragam bentuk sisi kehidupan sebagai manifestasi peradaban. Sehingga di dimensi fisik tergelar tata Prameswaren dan Paseliran yang dari pemahaman spiritual adalah sebagai kancah romantika perpaduan kodrat darma di alam fisik ini. Tetapi pada prisnsipnya bisa kita ambil kesimpulan bahwa penisbatan karekter maskulin dan feminim Sang Sabda Sekar Kedhaton ini sebenarnya lebih didasarkan pada  pemahaman akan perpaduan jodoh dari beragam sifat Allah ketika sudah ada di dalam diri  makhluk, dimana segala dinamika kehidupan selalu mengambil bentuk berpasangan untuk terlahirnya sebuah tata kehidupan. Dari perpaduan Kesadaran dan Kesaktian di jagad kecil dan jagad besar itulah yang memungkinkan terlahirnya anak berupa peradaban Mataram. Kesadaran letaknya di Budi (pikiran) dan kesaktian letaknya di Daya (Nafsu). Sehingga peradaban bisa dikatakan terlahir dari hasil budi (cipta) dan daya (karsa) manusia di jagad kecilnya setelah menyatukan laras (rasa) dengan yang menjadi jodohnya  jagad besar atas ketetapan yang ditentukan dari sang Khalik yang menguasai kesadaran dan kesaktian baik di Jagad kecil maupun Jagad besar.

Penutup
Dengan teknologi cangih saat ini, banyak kita saksikan wong lempoh ngideri jagad (orang lumpuh berkeliling dunia) lewat internet. Sedang sejak jaman dahulu kala sebenarnya sudah banyak nenek moyang kita yang memiliki kemampuan canggih sedemikian rupa, sehinggga mampu mengakses situs-situs maya di berbagai belahan dunia, untuk membangun peradaban anak cucunya. Yang melahirkan beragam ilmu jaya kawijayan, guna kasantikan, kawaskitan dan kebijaksanaan hidup lainnya. Hanya saja metoda dan perangkat  yang dipakainya menggunakan cara yang berbeda. Fenomena Ratu Kidul dengan gelar Kerajaan halusnya di Pantai Selatan menjadi salah satu icon tersendiri dalam kaitan interaksi manusia dengan alam Halus. Mengingat alam halus berkait erat dengan jalan spiritual, maka berbagai fenomena yang terlahir disana seringkali bersifat subyektif tergantung niat dan kepercayaan masing-masing. Sehingga berbagai wacana yang berkembang di tengah masyarakat melahirkan beragam  persepsi, pemahaman, dan interprestasi baik negative maupun positif tentang  eksistensinya. Terlepas dari itu semua sebagai manusia kita memiliki wewenang untuk mengambil inti sari (hikmah) kehidupan dari beragam tata gelar alam yang diselenggarakan Allah SWT, baik dari alam fisik maupun alam halus. Yang dari intisari beragam fenomena kehidupan ini bisa mengambil manfaat bagi pertumbuhan dan perkembangan kesadaran diri kita akan hidup dan kehidupan. Demikian sedikit wacana  Ratu Kidul dan kaitannya dengan transformasi peradaban manusia. Mungkin masih banyak yang belum mampu terungkap maupun terbahas, mengingat keterbatasan waktu dan keadaan. Berbagai bentuk pemahaman yang terbentuk disini tidak terlepas dari perjalanan saya dalam mempelajari hikmah kehidupan dalam konteks peribadatan mengenal Jati diri dan kebaktian kepada Allah SWT. Sehinggga kalaulah cenderung subyektif dan mungkin berbeda dengan pemahaman yang mungkin selama ini berkembang, tidak lain karena hal ini terkait dengan perjalanan spirit saya yang mungkin masih sangat terbatas. Sehingga segala bentuk cerita yang tergelar dimaksudkan bukan dilihat dalam arti personifikasi obyeknya tapi lebih kepada nilai hidup atau substansi yang ada di dalamnya. Yang tentu saja dikembalikan kepada kepercayaan masing-masing di dalam penerimaannya. Semoga bisa bermanfaat dan menambah wawasan bagi kita semua yang pada berbagai konteks menghadapi tantangan kehidupan yang sering kali membutuhkan sikap keseimbangan diri  sebagai Panembahan dan Senopati. Wa Allahu A`lam bi sawab.

*) jejer Panebahan sebagai Hamba Allah bersifat pasif dinisbatkan sebagai sifat makhluk dalam bentuk perempuan. Jejer senopati sebagai wali Allah bersifat aktif dinisbatkan sebagai sifat makhluk dalam bentuk laki-laki. Hakikat sifat hidup Khalik dan makhluk tersebut akan berjodoh sesuai jejerannya. Khalik yang bersifat Laki-Laki akan berjodoh dengan makhluk bersifat perempuan dalam Jejer Panembahan. Khalik bersifat perempuan akan berjodoh dengan Makhluk bersifat laki-laki ketika sang makhluk menggunakan jejer Senopati.